Di Wantilan DPRD Provinsi Bali, Jln. Kusuma Atmaja No. 3, Renon, Denpasar, (25/42009), sekitar pkl. 09.00-14.30 Wita berlangsung Acara Simakrama Gubernur Bali Made Mangku Pastika dengan Tokoh Masyarakat Bali, dihadiri sekitar 200 orang serta anggota Muspida, perwakilan tokoh masyarakat, aktivis kampus dan keagamaan. Selanjutnya dapat diberitakan sebagai berikut:
1. Dalam dialognya, Made Mangku Pastika mengatakan bahwa:
a. Banyak berita yang ditulis oleh wartawan seringkali bersifat provokatif, dan menilai kerapkali membuat berita yang membohongi publik, serta masih adanya kebijakan media yang menjual berita sehingga dengan mudah orang yang berduit bisa nampang dikoran.
b. Tanggapan mengenai isu yang saat ini beredar dibacakan oleh Gede Mangku Pastika, antara lain:
1) Isu mengenai pemerintah memberikan toleransi 3 tahun terhadap bangunan yang dianggap melanggar, dan bagaimana sanksinya setelah waktu tersebut terlewati.
Tanggapan:
Isu tersebut tidak benar, karena didalam draft pasal 185 Raperda RTRWP Bali menyebutkan:
a) Pada saat Peraturan daerah ini mulai berlaku, semua pemanfataan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus segera disesuaikan dengan rencana tata ruang harus segera disesuaikan dengan tata ruang melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang berdasarkan peraturan daerah ini.
b) Penyesuaian pemanfaatan ruang yang diperoleh secara sah diberi masa trasisi paling lama 3 (tiga) tahun.
2) Isu mengenai adanya peluang kompromi melalui musyawarah dan mufakat yang ditawarkan dalam penyelesaian pelanggaran/ sengketa.
Tanggapan:
Perlu dipahami, bahwa pelanggaran tersebut berbeda dengan sengketa. Pelanggaran merupakan domain hukum publik, sedangkan merupakan ranah dari hukum privat.
Terhadap pelanggarannya dikenakan sanksi pidana kepada pelanggarnya, sedangkan sengketa penataan ruang diselesaikan oleh para pihak, apabila tidak dapat diselesaikan secara musyawarah dapat diteruskan melalui proses peradilan.
3) Isu mengenai pemerintah diharapkan menyetop alih fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi.
Tanggapan:
Isu tersebut tidak benar, sesuai dengan Pasal 65 ayat (3) draft Raperda RTRWP Bali berbunyi: ”Perubahan fungsi hutan produksi menjadi hutan lindung dilakukan dengan reskoring dan diusulkan oleh Gubernur kepada Menteri Kehutanan untuk ditetapkan sebagai hutan lindung.
4) Isu mengenai Filosifi Tri Hita karana harus tetap diimplementasikan secara sinergis dengan menjaga keseimbangan antara kebutuhan antara kebutuhan ekonomi dan lingkungan, menjaga kesucian air seperti danau, sungai dan pantai.
Tanggapan:
Raperda RTRWP sebagai impelmentasi untuk menjaga/melindungi kawasan konservasi sekaligus sebagai kawasan suci seperti gunung dan perbukitan, danau, campuhan, pantai, perairan laut dan pesisir serta kawasan disekitar mata air telah diatur dalam Pasal 48 ayat (3) dan sebagai wujud implementasi tidak hanya Tri Hita Karana namun juga termasuk Sad Kertih.
5) Isu mengenai anggota DPRD sekarang tidak boleh mengambil keputusan tergesa-gesa dalam pembahasan Raperda RTRWP, sehingga tidak terkesan hasilnya sebagai ”pesan investor.”
Tanggapan:
RTRWP Bali memiliki sifat konperhensif, multidimensial, multi kepentingan dan multisektor karena merupakan hasil kesepakatan yang didasari pertimbangan teknis planologis dan kebijakan publik, sehingga proses pembahasan Raperda RTRWP memang tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa agar hasilnya mampu melestarikan Bali secara holistik sesuai dengan titah leluhur, dengan memperhatikan masukan dan pendapat seluruh masyarakat yang mempunyai komitmen untuk menjaga Bali. Untuk menghindari kesan tergesa-gesanya dalam pembahasan, DPRD Prov. Bali telah melakukan reschedule pembahasan RTRWP.
6) Isu mengenai Bhisama tidak lagi dijadikan acuan dalam penetapan kawasan tempat suci seperti jarak apengambuhan, apenimpug, dan apaneleng tidak berlaku lagi. Penyempitan makna Bhisama kawasan tempat suci karena harus menyesuaikan dengan Desa Pakraman.
Tanggapan:
Bhisama telah dijadikan groundnorm dan sekaligus diimplementasikan dalam batang tubuh RTRWP. Hal tersebut telah termuat dalam Pasal 48 ayat (3), Pasal 54 dan Pasal 55. Dalam Raperda RTRWP tidak ada mengatur bahwa penerapan Bhisama menyesuaikan dengan Desa Pakraman.
7) Isu mengenai Penentuan besaran masing-masing zona radius kesucian berdasarkan nilai historis dan spiritual, dan bentuk radius tidak mutlak berbentuk lingkaran tetapi berbeda untuk masing-masing tempat suci berdasarkan batas fisik, bentang alam seperti sungai, lembah, bukit atau batas fisik buatan sehingga memberi peluang kepada investor untuk merambah kawasan suci, serta tidak lagi mengadopsi kearifan lokal.
Tanggapan:
Pada kajian akademis dan Raperda yang telah disampaikan ke DPRD Bali tidak lagi memuat substansi tersebut, peluang investor untuk melanggar sudah tidak dimungkinkan asalkan dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan secara konsisten sesuai peruntukkan yang mengacu pada peraturan zonasi, perizinan, dan pengenaan sanksi (Pasal 104, 129, Pasal 130 Raperda RTRWP Bali). Penyusunan Raperda RTRWP Bali tetap mengacu pada Bhisama sebagai muatan kearifan lokal, dan telah tertuang dalam kajian akademis (Bab IV-30, Pasal 55 Raperda RTRWP).
8) Isu Mengenai revisi Perda RTRWP harus memasukan sanksi hukum yang berat kepada pelanggar dan pejabat yang mengeluarkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Tanggapan:
Sanksi yang tercantum dalam ketentuan Pasal 180, Pasal 183 dan Pasal 184, sudah sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU No. 26 Tahun 2007 serta Peraturan Perundang-undangan lainnya.
9) Isu mengenai Penolakan ODTWK dan TWA di Kawasan Lindung, dan dalam kawasan lindung ada kegiatan ODTWK, TWA dapat ditawar oleh investor untuk melakukan kegiatan/berinvestasi secara leluasa.
Tanggapan:
a) Sesuai dengan ketentuan TWA yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, secara umum berfungsi sebagai kawasan konservasi, yang dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian, pendidikan dan rekreasi secara terbatas. Sesuai dengan PP Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, serta berdasarkan Keputusan Menteri Nomor: 446/KPTS-II/1996 tentang permohonan pengajuan pengusahaan pariwisata alam dalam blok pemanfaatan. Persyaratan untuk mendapat ijin harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri Pariwisata dan Telekomunikasi, Gubernur setempat dan Kanwil Departemen Kehutanan setempat sebelum ijin dikeluarkan (Pasal 4 ayat 5 Kepmenhut Nomor: 446/KPTS-II/1996).
b) Upaya Pemerintah Daerah untuk menjaga dan melindungi TWA sesuai dengan fungsinya, Gubernur mengusulkan kepada pemerintah dalam hal:
(1) Pedoman Pengelolaan Taman Hutan Raya
(2) Pedoman pengelolaan Taman Wisata Alam (sesuai dengan Pasal 62 ayat (8) Raperda RTRWP).
c) Karena kawasan hutan lindung dan TWA disepakati menjadi Kawasan Strategis Provinsi sehingga setiap pengajuan ijin harus didahului oleh pengeluaran rekomendasi dari Gubernur.
d) Berkenaan dengan ODTWK di dalam kawasan lindung, pemanfaatan kawasannya mutlak harus mengikuti ketentuan pemanfaatan kasawan lindung.
10) Isu mengenai Disinsetif memberi peluang tehadap pelanggaran.
Tanggapan :
Disinsetif adalah perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
11) Isu Menganai Raperda harus mengatur sanksi terhadap pimpinan daerah yang salah merekomendasi perijinan.
Tanggapan :
Telah diadopsi ketentuan tersebut dalam Pasal 183 ayat (3) Raperda RTRWP Bali.
12) Isu mengenai Bali harus berani mengambil sikap, apabila pemimpinnya mengakomodasi dengan melanggar aturan.
Tanggapan :
Telah diadopsi keinginan tersebut dalam Pasal 177 Raperda Bali yang berbunyi sebagai berikut :
a) Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan penataan ruang
b) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup a. Partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang, b. Partisipasi pemanfaatan ruang, c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
c) Tata cara dan bentuk peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
13) Isu mengenai Nilai kearifan lokal seperti Sad Kertih, Tri Sukerta sampai Sumpah Hari Cendani belum diakomodasi dalam Raperda.
Tanggapan :
Nilai kearifan lokal seperti Sad Kertih dan Tri Sukerta, istilah tersebut belum diakomodasi dalam Raperda, tetapi implementasinya telah ada dalam raperda seperti pemeliharaan danau, hutan, sungai, pantai yang dikategorikan dalam kawasan suci. Istilah Sad Kertih akan diadopsi dalam konsideran menimbang, dan istilah Tri sukerti perlu dikaji lebih lanjut, sedangkan Sumpah Hari Cendani tidak dapat dimasukkan dalam substansi Raperda RTRWP.
14) Isu mengenai Stop pembahasan Raperda, Melakukan class action apabila pasal-pasal "bisnis" menguntungkan segelintir legislatif dan birokrat, masukan yang telah disampaikan belum diadopsi dalam raperda yang dibahas di DPRD.
Tanggapan :
Masukan yang dilakukan pada saat sosialisasi di Wisma Sabha Kantor Gubernur sampai saat ini sedang dilakukan pembahasan. Masukkan yang dapat diakomodir adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, peraturan daerah lainnya, dan mengadopsi prinsip-prinsip HAM. Bagi masyarakat yang merasa dirugikan kepentingannya dengan berlakunya peraturan daerah tentang RTRWP, dapat melakukan upaya hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (termasuk class action).
15) Isu mengenai persoalan kawasan suci belum terselesaikan.
Tanggapan :
Penetapan kawasan suci sudah terakomodasi dalam kajian akademis dan Raperda sesuai Pasal 48 ayat (3) dan Pasal 54 termasuk arahan peraturan Zonasi.
16) Isu mengenai Kajian akademik tidak menyinggung kerusakan Bali dalam 20 tahun mendatang, penyelesaian proses pengkajian secara holistik, integral dengan merefleksikan kearifan lokal Bali dalam keruangan, dan daya dukung yang tidak jelas, dibangun pelabuhan dan bandar udara, harus hati-hati dalam mengelola tata ruang Bali.
Tanggapan :
a) menyikapi kajian akademis yang belum menyinggung kerusakan Bali 20 Tahun mendatang, kemi telah sepakat membentuk tim dengan melibatkan unsur pemerintah Provinsi Bali, pemangku kepentingan dan LSM pemerhati lingkungan.
b) Rencana pembangunan bandar udara di Buleleng adalah salah satu upaya untuk menyeimbangkan pembangunan melalui program pengembangan wilayah antara Bali bagian selatan dan Bali bagian utara melalui peningkatan aksesibilitas, sarana dan prasarana yang didahului dengan feasibility study, khususnya daya dukung lingkungan dan kearifan lokal serta tetap memperhatikan keberlanjutan pembangunan.
17) Isu mengenai Kawasan suci bukan dijadikan sebagai obyek dan daya tarik wisata dengan membangun fasilitas kepariwisataan yang mencemari nilai-nilai kesucian.
Tanggapan :
Pada kawasan suci telah ditetapkan terhadap kegiatan yang boleh dan yang dilarang, atau dibatasi melalui peraturan zonasi pada kawasan suci telah diatur dalam Pasal 129 Raperda RTRWP yaitu :
Arahan peraturan zonasi kawasan suci sebagaimana dimaksud dalam pasal 125 huruf d, mencakup :
a) pemanfataan kawasan suci sebagai kawasan konservasi.
b) Pelarangan pendirian bangunan kecuali untuk menunjang kegiatan keagamaan dan penelitian, dan
c) Pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan kualitas lingkungan dan nilai-nilai kesucian.
18) Isu mengenai Perda 3 Tahun 2005 tidak dikenal istilah utama mandala, madyama mandala dan kanistha mandala, dan jarak/radius tempat suci, munculnya istilah karang kkeran untuk menlonggarkan kegiatan nonritual ke kawasan tempat suci, dan adanya karang kekeran akan memberi peluang kepada pemerintah daerah dalam mengatur pembangunan pada kawasan tempat suci.
Tanggapan:
Dalam Perda Nomor 3 Tahun 2005 memang tidak tercantum mengenai pembagian zona-zona kawasan tempat suci, tetapi tertuang dalam kajian akademis RTRWP yang juga merupakan bagian tak terpisahkan. Pengertian Karang kekeran adalah radius kawasan tempat suci yang dibagi menjadi utama mandala, madiama mandala, dan kanista mandala. Oleh karena itu membaca Perda RTRWP tidak cukup hanya melihat perdanya saja namun harus memperhatikan dokumen teknis (terdiri dari kajian akademis dan album peta) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perda tersebut.
19) Isu mengenai adanya karang Kekeran akan memberi peluang kepada pemerintah daerah dalam mengatur pembangunan pada kawasan tempat suci.
Tanggapan:
Karang kekeran adalah radius kawasan tempat suci khususnya pada pura sad kahyangan dan merupakan kawasan strategis provinsi, sehingga semua pelaksanaan kegiatan pada kawasan pura sad kahyangan harus mendapatkan rekomendasi dari Gubernur.
20) Isu mengenai nilai kontrak pembuatan kajian akademis terkesan dirahasiakan.
Tanggapan:
Prosedur dan mekanisme penetapan pemenang telah mengikuti ketentuan peraturan-peraturan (Keppres No. 80 Tahun 2003), telah dilakukan pengumuman pelelangan di media cetak nasional dan lokal secara terbuka serta tidak ada sanggapan selama masa sanggah terhadap pemenang yang ditetapkan.
21) Isu mengenai RTRWP ada tahun 1989, penegakkan hukumnya sangat lemah, buktinya bangunan disempadan jurang/sungai memiliki IMB, terjadinya aktivitas pada kawasana suci, tidak tersentuh hukum.
Tanggapan:
Kedepan penegakan hukum menjadi prioritas utama terhadap pelanggaran pemanfataan ruang, dengan menyiapkan PPNS yang profesional.
22) Isu mengenai Raperda masih ada kekosongan karena beberapa substansi yang ada dalam RTRWP belum terakomodasi dalam Raperda.
Tanggapan:
Akan dilakukan penyempurnaan dengan menampung masukkan seluruh komponen masyarakat serta melengkapi terhadap substansi yang belum terakomodasi dalam Raperda.
23) Isu mengenai RTRW Bali akan menentukan roh dan taksu Bali kedepan.
Tanggapan:
Raperda RTRWP telah mengacu pada konsep Tri Hita Karana, Sad Kertih, dan Bhisama radius kesucian pura. Namun istilah Sad Kertih belum muncul dalam raperda, dan berdasarkan masukan dari MUDP, kami telah sepakat untuk memasukkannya dalam konsideran menimbang, dan menuangkan dalam naskah akademis.
Dalam rangka mewujudkan keinginan yang luhur tersebut maka dalam proses pembahasan penyempurnaan sustansi raperda, diharapkan peran serta masyarakat bersama-sama memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 177 ayat (2) Raperda.
24) Isu mengenai samapai kapan umur teknis suatu bangunan itu berakhir.
Tanggapan:
Meskipun umur teknis bangunan terdapat dalam naskah akademik, namun dalam Raperda RTRWP yang disampaikan ke DPRD Bali tidak mengatur hal demikian.
25) Isu mengenai ”Bukan pelanggar yang ditindak malah perdanya yang direvisi, saat ini modus operandinya canggih, pelanggaran dimanjakan, dikompromikan, dikompensasikan, diputihkan asalkan upetinya sesuai dengan kebijakan.”
Tanggapan:
Dengan semakin luasnya kewenangan pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruan di daerah, serta ketatnya ketentuan sanksi administrasi dan ketentuan pidana, maka penegakkan Perda harus dilakukan dengan tegas telah diatur sesuai ketentuan Pasal 180, 183, 184 dan 185. Secara prinsip pasal-pasal dalam Raperda RTRWP tidak ada yang memihak investor.
26) Isu mengenai RTRWP jangan memberikan kewenangan khusus atas jabatan, khususnya penetapan kawasan pariwisata dan ODTWK.
Tanggapan:
Pengaturan dalam pasal 161 ayat (2) adalah untuk menampung kemungkinan berkembangnya ODTWK baru, sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Namun permasalahan tersebut baru akan bisa ditetapkan setelah mendapat persetujuan DPRD.
27) Isu mengenai RTRWP Bali Harus mengakomodasi sanksi hukum secara utuh yang dimuat dalam UU No. 26 Tahun 2007, dan UU Penataan Ruang menjadi rujukan dalam membuat RTRWP Bali.
Tanggapan:
Dalam menyusun Raperda tentang RTRWP, harus mengacu kepada UU No. 26 Tahun 2007, namun pencantuman sanksi pidana dalam Peraturan Daerah wajib hukumnya untuk mengikuti ketentuan Pasal 143 UU No. 32 Tahun 2004 yang menyebutkan sebagai berikut:
a) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakkan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundangan.
b) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
c) Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
28) Isu mengenai Raperda RTRWP memberi kewenangan istimewa kepada Gubernur Bali dalam menetapkan status Pura Kahyangan Jagad, Sad Kahyangan, dan Dang Kahyangan, harus melalui rekomendasi Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), setelah turun rekomendasi PHDI barulah pemerintah (Gubernur) menetapkannya ke dalam Perda.
Tanggapan:
Kewenangan Gubernur dalam menetapkan status Pura Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan, dan Dang Kahyangan telah diatur dalam Pasal 61 huruf a dan penjelasannya yang menyebutkan:
”Dalam penetapan status Pura Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan, dan Dang Kahyangan, Gubernur berkoordinasi dengan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Utama Desa Pakraman serta tokoh agama dan tokoh masyarakat.
2. Ditempat yang sama, Pengamat Tata Ruang Ir. Nyoman Gelebet mengatakan bahwa:
a. Adanya benang merah yang wajib konsisten berlanjut dari agenda 21 Rio De Janeiro KTT Bumi 1992 dengan UUPR Nasional No. 26 Tahun 2007 untuk acuan RTRWP 2009 yang implementasinya pada RTRW Kab/Kota.
b. Adanya kawasan lindung yang mengalami empat kali penciutan lahan dari 238.505 Ha menjadi 189.862 Ha, lalu menjadi 198.093 Ha dan kini tetap 198.093 Ha, tetapi kenyataan dilapangan jauh mengalami penyusutan.
c. Lahan pertanian dikonversi dari 253.629 Ha menjadi 228.253 Ha dan kini luasnya tidak berubah yaitu 228.253 Ha, kenyataan dilapangan terjadi alih fungsi 1000 (seribu) Ha/tahun.
d. Konsep Pariwisata Budaya dalam RTRWP No. 6 Tahun 1989, yaitu pariwisata untuk Bali, bukan Bali untuk Pariwisata. Dalam RTRWP No. 4 Tahun 1996 dibelokkan menjadi Kawasan Prioritas Obyek Pariwisata.
e. Infrastruktur yang semakin kabur sebagai mana rencana Amed sebagai pelabuhan penyebrangan Bali-Lombok-Padang Bay untuk kapal pesiar pariwisata, hanya sebatas rencana sejak ditandatangani dokumen Caracas 1972, sedangkan Jalan Layang Serangan-Tanjung Benoa yang jelas-jelas tidak memungkinkan untuk dibangun tetap saja dimasukkan dalam pasal RTRWP dan itu mubasir.
f. Setiap Bab dalam RTRWP terdapat kelemahan, penyimpangan dan perlu adanya kajian lebih mendalam. (JL3o)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar