Jakarta - Pansus Orang Hilang DPR diminta segera mengeluarkan sikap resminya apakah akan memberikan rekomendasi kepada Presiden SBY untuk segera dibentuk pengadilan HAM Ad Hoc atau tidak. Jika Pansus Orang Hilang DPR tidak juga mengambil sikap sebaiknya pansus dibubarkan saja.
Demikian dikatakan anggota Pansus Orang Hilang DPR, Suryama pada wartawan di gedung DPR RI Jakarta, kamis 27 November 2008 . “Ini soal martabat kita sebagai lembaga dewan, DPR harus sensitive, jika tidak juga bersikap sebaiknya pansus dibubarkan,”tukas politisi PKS ini.
Anggota Komisi I DPR ini menilai sebenarnya tugas pansus tidak berat, sebab DPR hanya tinggal menindaklanjuti surat dari Komnas HAM yang menemukan bukti awal adanya pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan paksa tahun 1998.
“Namun dalam rapat internal yang dilakukan kemarin ternyata yang hadir hanya lima orang saja. Saya khawatir masing-masing anggota mulai mencoba melepaskan diri dari tanggungjawab moral,”sesalnya.
Suryama berharap masing-masing fraksi dalam pansus segera menyatakan sikap resminya secara tertulis sehingga pansus bisa segera bersikap apakah perlu mengeluarkan rekomendasi pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc atau tidak.
“Masing-masing fraksi harus segera bersikap sehingga bisa dipertanggungjawabkan dan jangan hanya berdebat kusir di media massa ,”katanya.
Jika ternyata pansus tidak juga mengambil keputusan, Suryama menyarankan kepada pimpinan pansus untuk segera melaporkannya ke sidang paripurna bahwa pansus tidak bisa berjalan dengan baik.
“Itu lebih baik daripada tidak sama sekali, lebih baik kita terbuka saja, mau meneruskan atau tidak,”tegas Suryama. (Gahar).
Mengenai Saya
- Indo Berita nusantara
- jakarta, selatan, Indonesia
- Indo Berita Nusantara merupakan situs berita internet yang memberikan informasi berbentuk berita diseluruh nusantara Alamat Jl. Joe. Gg. Kelapa Hijau Telp.(021)98265014 Anda punya berita atau informasi silahkan kirim ke e-mal : ibernas.jakarta@yahoo.com
Senin, 15 Desember 2008
MEMASTIKAN AKSES TERHADAP KEADILAN DAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SEBAGAI PEMENUHAN HAK PEREMPUAN
Oleh : R. Valentina Sagala, SE., SH., MH.*)
Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia telah memiliki sejumlah peraturan perundangan yang melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seperti UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO).
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, kebijakan dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan mengalami kemajuan. Namun masih terdapat berbagai kendala dalam implementasi peraturan perundangan, mulai dari pencegahan yang belum strategis, belum kuatnya sistem pendataan dan pemantauan kasus, belum terpenuhinya keadilan bagi korban, minimnya layanan pemulihan, dan minimnya perlindungan saksi bagi korban. Implementasi UU tersebut yang semestinya bersandar pada hak-hak korban, masih dipertanyakan.
Terhambatnya keadilan bagi korban masih menjadi catatan dalam implementasi perundangan. Catatan RPK.UUP sejak tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 50% dari total kasus yang dilaporkan dicabut kembali oleh korban sehingga proses hukum tidak dapat diteruskan (Komnas Perempuan, 2008). Pencabutan laporan ini diakibatkan perempuan korban masih merasa malu, bersalah atas kekerasan yang menimpa dirinya dan khawatir dipersalahkan oleh keluarga dan masyarakat di sekelilingnya.
Terhambatnya akses kepada keadilan juga terjadi pada kasus-kasus yang menimpa anak perempuan. Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh praktek perkawinan anak (early child marriage) yang menimpa Lutfiana Ulfa, anak perempuan berusia 12 tahun, yang dinikahi secara sirri oleh Pujiono, pengusaha sekaligus kyai dari Semarang. Penegakan hukum kasus ini tidak berjalan semestinya. Dalih ajaran dan tradisi agama (Islam) didukung oleh kesimpangsiuran memandang UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan semakin menghambat akses kepada keadilan dan pemulihan terhadap korban anak.
Dalam hal perlindungan saksi dan korban, perempuan korban kekerasan terhadap perempuan rentan mengalami aksi pembalasan dari pelaku. Di tengah persidangan kasus pembagian harta gono-gini di Pengadilan Agama Sidoarjo, Eka Suhartini ditikam mati oleh mantan suaminya, Kol. TNI AL Irfan Djumrono. Pelaku juga membunuh hakim yang sedang memimpin sidang, Achmad Taufik. Peristiwa ini mencerminkan perempuan korban kekerasan belum dapat mengakses perlindungan saksi dan korban.
Oleh karena ini, dalam momen Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, sangat penting untuk mendorong komitmen negara dalam menegakkan hak asasi perempuan, khususnya hak atas layanan pemulihan dan akses kepada keadilan bagi perempuan korban kekerasan. Untuk itu, kami, INSTITUT PEREMPUAN menuntut aaparat penegak hukum untuk mengimplementasikan UU PKDRT, UU PTPPO, UU Perlindungan Saksi dan Korban sebagai bagian dari penegakan hukum. Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menyediakan layanan pemulihan kepada perempuan dan anak korban kekerasan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk menyediakan perlindungan saksi dan korban bagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mengalokasikan anggaran dalam penyediaan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. *)Penulis adalah Chairperson of Executive Board INSTITUT PEREMPUAN.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia telah memiliki sejumlah peraturan perundangan yang melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seperti UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO).
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, kebijakan dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan mengalami kemajuan. Namun masih terdapat berbagai kendala dalam implementasi peraturan perundangan, mulai dari pencegahan yang belum strategis, belum kuatnya sistem pendataan dan pemantauan kasus, belum terpenuhinya keadilan bagi korban, minimnya layanan pemulihan, dan minimnya perlindungan saksi bagi korban. Implementasi UU tersebut yang semestinya bersandar pada hak-hak korban, masih dipertanyakan.
Terhambatnya keadilan bagi korban masih menjadi catatan dalam implementasi perundangan. Catatan RPK.UUP sejak tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 50% dari total kasus yang dilaporkan dicabut kembali oleh korban sehingga proses hukum tidak dapat diteruskan (Komnas Perempuan, 2008). Pencabutan laporan ini diakibatkan perempuan korban masih merasa malu, bersalah atas kekerasan yang menimpa dirinya dan khawatir dipersalahkan oleh keluarga dan masyarakat di sekelilingnya.
Terhambatnya akses kepada keadilan juga terjadi pada kasus-kasus yang menimpa anak perempuan. Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh praktek perkawinan anak (early child marriage) yang menimpa Lutfiana Ulfa, anak perempuan berusia 12 tahun, yang dinikahi secara sirri oleh Pujiono, pengusaha sekaligus kyai dari Semarang. Penegakan hukum kasus ini tidak berjalan semestinya. Dalih ajaran dan tradisi agama (Islam) didukung oleh kesimpangsiuran memandang UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan semakin menghambat akses kepada keadilan dan pemulihan terhadap korban anak.
Dalam hal perlindungan saksi dan korban, perempuan korban kekerasan terhadap perempuan rentan mengalami aksi pembalasan dari pelaku. Di tengah persidangan kasus pembagian harta gono-gini di Pengadilan Agama Sidoarjo, Eka Suhartini ditikam mati oleh mantan suaminya, Kol. TNI AL Irfan Djumrono. Pelaku juga membunuh hakim yang sedang memimpin sidang, Achmad Taufik. Peristiwa ini mencerminkan perempuan korban kekerasan belum dapat mengakses perlindungan saksi dan korban.
Oleh karena ini, dalam momen Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, sangat penting untuk mendorong komitmen negara dalam menegakkan hak asasi perempuan, khususnya hak atas layanan pemulihan dan akses kepada keadilan bagi perempuan korban kekerasan. Untuk itu, kami, INSTITUT PEREMPUAN menuntut aaparat penegak hukum untuk mengimplementasikan UU PKDRT, UU PTPPO, UU Perlindungan Saksi dan Korban sebagai bagian dari penegakan hukum. Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menyediakan layanan pemulihan kepada perempuan dan anak korban kekerasan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk menyediakan perlindungan saksi dan korban bagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mengalokasikan anggaran dalam penyediaan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. *)Penulis adalah Chairperson of Executive Board INSTITUT PEREMPUAN.
BANYAK POLITISI MELAMAR KE PDIP UNTUK JADI PENDAMPING MEGA
Jakarta - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belum akan mengumumkan calon wakil presiden untuk mendampingi Megawati Soekarnuputri sebelum diperoleh hasil pemilu legislative 2009. Dengan demikian maka Rakernas DPP PDIP yang akan digelar di Solo Jawa Tengah pada 27-29 Januari 2009 mendatang hanya akan membahas pemenangan pemilu legislative 2009.
“Sudah banyak orang yang datang dan minta disandingkan dengan Mba Mega. Tapi siapa orangnya, tidak usah saya sebut. Bukan PDIP yang mengajak para bakal cawapres itu. Justru, para bakal cawapres itu yang justru menawarkan diri. Banyak politikus yang mencela Bu Mega, tapi kemudian ramai-ramai antri jadi cawapresnya,”beber anggota Dewan Pertimbangan Pusat DPP PDIP, AP Batubara pada wartawan di Jakarta , Rabu 26 November 2008.
Selain itu menurut AP, PDIP sampai saat ini masih menginginkan adanya sebuah koalisi di 2009 nanti. Sebab koalisi memang sangat penting dan PDIP masih menimbang-nimbang akan berkoalisi dengan siapa. “Namun jika PDIP mampu meraih suara sampai 30 persen, koalisi sudah tidak perlu dilakukan,”ungkapnya.
Menyinggung iklan politik yang dibuat oleh PDIP, AP Batubara menjelaskan bahwa iklan tersebut tidak dibuat untuk menyerang pemerintah.Sebab, lanjut dia, itu semua dilakukan sebagai bentuk pendidikan politik dan demokrasi.
“Iklan PDIP sama sekali tidak untuk menyinggung apalagi menyerang siapapun, termasuk pemerintah. Iklan itu sama sekali tidak ada urusannya dengan serang menyerang dan tak ada urusannya dengna singgung menyinggung,"tandasnya.
Iklan itu sendiri, kata AP, diperuntukan untuk mempertegas visi serta misi partai dalam mewujudkan programnya antara lain dalam hal mensejahterakan rakyat dimana saat ini rakyat menjerit kesusahan karena tidak sebandingnya antara peningkatan pendapatan dengan peningkatan harga sembako.(Gahar).
“Sudah banyak orang yang datang dan minta disandingkan dengan Mba Mega. Tapi siapa orangnya, tidak usah saya sebut. Bukan PDIP yang mengajak para bakal cawapres itu. Justru, para bakal cawapres itu yang justru menawarkan diri. Banyak politikus yang mencela Bu Mega, tapi kemudian ramai-ramai antri jadi cawapresnya,”beber anggota Dewan Pertimbangan Pusat DPP PDIP, AP Batubara pada wartawan di Jakarta , Rabu 26 November 2008.
Selain itu menurut AP, PDIP sampai saat ini masih menginginkan adanya sebuah koalisi di 2009 nanti. Sebab koalisi memang sangat penting dan PDIP masih menimbang-nimbang akan berkoalisi dengan siapa. “Namun jika PDIP mampu meraih suara sampai 30 persen, koalisi sudah tidak perlu dilakukan,”ungkapnya.
Menyinggung iklan politik yang dibuat oleh PDIP, AP Batubara menjelaskan bahwa iklan tersebut tidak dibuat untuk menyerang pemerintah.Sebab, lanjut dia, itu semua dilakukan sebagai bentuk pendidikan politik dan demokrasi.
“Iklan PDIP sama sekali tidak untuk menyinggung apalagi menyerang siapapun, termasuk pemerintah. Iklan itu sama sekali tidak ada urusannya dengan serang menyerang dan tak ada urusannya dengna singgung menyinggung,"tandasnya.
Iklan itu sendiri, kata AP, diperuntukan untuk mempertegas visi serta misi partai dalam mewujudkan programnya antara lain dalam hal mensejahterakan rakyat dimana saat ini rakyat menjerit kesusahan karena tidak sebandingnya antara peningkatan pendapatan dengan peningkatan harga sembako.(Gahar).
Langganan:
Postingan (Atom)