Jakarta - Merasa gerah dengan Undang-Undang Pemilihan Presiden yang baru saja disahkan oleh DPR. Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Judicial Review ini dimaksudkan untuk menolak aturan dalam UU Pilpres tentang syarat untuk mengajukan calon presiden (capres) dalam Pemilu 2009 mendatang harus mendapatkan 20 persen suara dalam Pemilu Legislatif.
“Partai Hanura saat ini telah menyiapkan format serta bahan-bahan yang dibutuhkan untuk mengajukan judicial review. Sehingga nanti ketika disahkan, kami akan langsung melayangkannya ke MK,”ujar Ketua Umum Partai Hanura,Wiranto pada wartawan disela acara Rakornas II Partai Hanura di Jakarta, Sabtu 15 November 2008.
Wiranto mengaku partainya sudah berkordinasi dengan sejumlah partai politik lain yang sepaham dengan Hanura untuk mengajukan Judicial Review. “Kami akan mengajukannya bersama-sama dengan partai lain yang sepaham dengan kami. Namun bukan berarti kami akan juga berkoalisi dengan partai tersebut,”terang Wiranto. (Gahar).
Mengenai Saya
- Indo Berita nusantara
- jakarta, selatan, Indonesia
- Indo Berita Nusantara merupakan situs berita internet yang memberikan informasi berbentuk berita diseluruh nusantara Alamat Jl. Joe. Gg. Kelapa Hijau Telp.(021)98265014 Anda punya berita atau informasi silahkan kirim ke e-mal : ibernas.jakarta@yahoo.com
Senin, 24 November 2008
RENOVASI GEDUNG DPR TIDAK PENTING
Jakarta - Rencana DPR untuk merenovasi ruang kerja anggota Dewan yang menghabiskan anggaran sekitar Rp 32,5 miliar mendapat kecaman keras. Hajatan orang-orang di Senayan tersebut dinilai tidak penting sebab kondisi ruang kerja pada anggota DPR tersebut sudah cukup memadai.
“Renovasi saya kira tidak perlu karena masih banyah hal-hal yang lebih urgent dari pada renovasi ruang-ruang kerja. Saya melihat ruang kerja anggota DPR meski tidak mewah cukup baik dan bersih dan cukup luas,”kata pengamat politik UIN Syarif Hidayatulllah, Bachtiar Effendi pada wartawan di Jakarta , Sabtu 15 November 2008.
Menurut Bachtiar, biaya renovasi cukup mahal, apalagi DPR sekarang ini sedang membangun rumah-rumah di komplek Kalibata, yang juga sempai menuai kritik di masyarakat. Untuk itu dirinya meminta DPR untuk berhati-hati dalam menganggarkan kebutuhan mereka yang tidak ada kaitannya tugas yang urgen. “Ruang kerja mereka masih bagus kok,”ujarnya.
Untuk itulah, Bachtiar mengaku kurang setuju dengan rencana renovasi tersebut.”Daripada merenovasi ruang kerja,lebih baik uangnya dipakai untuk membangun sekolah-sekolah yang sudah rusak,”sindirnya. (Gahar).
“Renovasi saya kira tidak perlu karena masih banyah hal-hal yang lebih urgent dari pada renovasi ruang-ruang kerja. Saya melihat ruang kerja anggota DPR meski tidak mewah cukup baik dan bersih dan cukup luas,”kata pengamat politik UIN Syarif Hidayatulllah, Bachtiar Effendi pada wartawan di Jakarta , Sabtu 15 November 2008.
Menurut Bachtiar, biaya renovasi cukup mahal, apalagi DPR sekarang ini sedang membangun rumah-rumah di komplek Kalibata, yang juga sempai menuai kritik di masyarakat. Untuk itu dirinya meminta DPR untuk berhati-hati dalam menganggarkan kebutuhan mereka yang tidak ada kaitannya tugas yang urgen. “Ruang kerja mereka masih bagus kok,”ujarnya.
Untuk itulah, Bachtiar mengaku kurang setuju dengan rencana renovasi tersebut.”Daripada merenovasi ruang kerja,lebih baik uangnya dipakai untuk membangun sekolah-sekolah yang sudah rusak,”sindirnya. (Gahar).
KINERJA KESEKJENAN DPR DINILAI BURUK
Jakarta - Karena tidak didukung oleh kinerja yang baik oleh kesekjenan dengan baik, DPR RI kemungkinan tidak dapat memenuhi target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2004-2009 sebanyak 284 undang-undang.
Demikian dikatakan Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR RI Darul Siska dalam diskusi "UU Susduk Menempatkan dan Mendorong Sekjen yang Profesional dan Berorientasi Melayani Parlemen" di Jakarta, Rabu 12 November 2008.
“Undang-undang yang berhasil dicapai ternyata belum mencapai 50 persen, selain DPR harus mereformasi, lembaga Sekjen DPR pun harus mereformasi diri juga,"ujar Darul.
Darul mengeluhkan kurangnya tenaga ahli atau legal drafter yang seharusnya disediakan oleh Sekjen DPR RI. Dari kebutuhan yang seharusnya diisi oleh 100 legal drafter, ternyata baru terpenuhi 20 orang legal drafter.
“Yang lebih buruk lagi proses pengangkatannya bernuansa KKN dan tidak memenuhi standar. Ada juga nggota DPR yang mengangkat saudaranya,"sindir Darul.
Selain itu, Darul mengkritik Sekjen DPR yang saat ini hanya sekitar 20 persen saja pegawai di DPR yang memberikan sumbangan langsung ke anggota DPR dalam membantu menjalankan tugasnya. Sisanya hanya bertugas dalam bidang pelayanan administratif untuk anggota DPR.
Buntutnya, DPR belum mampu mengakses dan memiliki data aktual mengenai persoalan di masyarakat. Berbeda dengan pemerintah yang memiliki data dan analisis yang lengkap. "Pemerintah melalui kemampuan keuangannya, mampu menyediakan legal drafter. Karena itu, setiap dalam Raker dengan pemerintah, tidak tercapai keseimbangan. DPR kekurangan data dan informasi yang memadai, tetapi pemerintah memilikinya,"keluhnya.(Gahar).
Demikian dikatakan Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR RI Darul Siska dalam diskusi "UU Susduk Menempatkan dan Mendorong Sekjen yang Profesional dan Berorientasi Melayani Parlemen" di Jakarta, Rabu 12 November 2008.
“Undang-undang yang berhasil dicapai ternyata belum mencapai 50 persen, selain DPR harus mereformasi, lembaga Sekjen DPR pun harus mereformasi diri juga,"ujar Darul.
Darul mengeluhkan kurangnya tenaga ahli atau legal drafter yang seharusnya disediakan oleh Sekjen DPR RI. Dari kebutuhan yang seharusnya diisi oleh 100 legal drafter, ternyata baru terpenuhi 20 orang legal drafter.
“Yang lebih buruk lagi proses pengangkatannya bernuansa KKN dan tidak memenuhi standar. Ada juga nggota DPR yang mengangkat saudaranya,"sindir Darul.
Selain itu, Darul mengkritik Sekjen DPR yang saat ini hanya sekitar 20 persen saja pegawai di DPR yang memberikan sumbangan langsung ke anggota DPR dalam membantu menjalankan tugasnya. Sisanya hanya bertugas dalam bidang pelayanan administratif untuk anggota DPR.
Buntutnya, DPR belum mampu mengakses dan memiliki data aktual mengenai persoalan di masyarakat. Berbeda dengan pemerintah yang memiliki data dan analisis yang lengkap. "Pemerintah melalui kemampuan keuangannya, mampu menyediakan legal drafter. Karena itu, setiap dalam Raker dengan pemerintah, tidak tercapai keseimbangan. DPR kekurangan data dan informasi yang memadai, tetapi pemerintah memilikinya,"keluhnya.(Gahar).
Langganan:
Postingan (Atom)