Denpasar, Bali sebagai kawasan pariwisata terkenal tidak hanya di dalam negeri saja, tetapi juga dikenal dimanca negara. Sebagai pulau pariwisata yang menawarkan sejuta macam hiburan, mulai dari hiburan tradisional sampai dengan karoke, diskotik dan masih banyak lagi. di tahun 2007, sekitar 4.041 orang telah mengidap AIDS di Bali, sebanyak 1.348 atau 33,4 % tertular melalui jarum suntik, 2.693 atau 66,6 % lainnya tertular melaui hubungan seks. Berdasarkan data yang adadi KPAD Kota Denpasar, sampai dengan bulan februari 2009 jumlah yang terinveksi sebanyak 2.666 orang, 48,16 % terjangkit di Kota Denpasar dengan penderita 1.284 Kasus, yang terdiri dari 843 kasus HIV dan 441 kasus AIDS, 109 atau 95 % diantaranya sudah meninggal dunia yang menimpa usia produktif. Demikian terungkap dalam malam renungan AIDS Nusantara yang diselenggarakan oleh Komisi penangulangan Aids Kota Denpasar, yang berlangsung di lapangan Puputan Badung (23/5/09).
Renungan AIDS yang bertemakan TOGETHER WE ARA SOLUTIAN merupakan kampanye International yang merupakan suatu program yang pada awalnya di prakarsai oleh Global Health Counsil, suatu lembaga International yang programnya untuk mengkoordinasikan dan menyerukan Pemerintah dan non Pemerintah, komonitas atau perorangan, untuk ikut terlibat dalam kampanya tersebut.
Walikota Denpasar IB Rai Dharmawijaya Mantera yang sekaligus Ketua KPA Kota Denpasar dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh Plt. Setda Kota Denpasar Drs Nick Nata Wibawa menyatakan,. Apa yang disampaikan, itu merupakan sebagian kecil dari data yang sesungguhnya, mengingat HIV sangat sulit dideteksi, dan hanya bisa diketahui melalui tes darah saja, sehinngga sering digambarkan sebagai fanomena gunng es, hal ini sudah tentu sangat mengkawatirkan, sehingga menuntut perhatian ataupun kepedulian yang sungguh dan tindakan nyata dari semua lapisan masyarakat.
Selaku Ketua KPAD Kota Denpasar Rai Mantera, merasa prihatin dengan keadaan ini, mengingat begitu banyak yang meninggal sia-sia, karena AIDS yang seharusnya tidak perlu terjadi, diharapkan setiap orang tetap memiliki komitmen, keyakinan dan keteguhan iman, serta pengendalian diri dan tidak henti-hentinya memohon kepada Ida Hyang Widi Wasa dengan penuh kesadaran diri dan mengajak lingkungan agar terbebas dari Bahaya HIV dan AIDS.
Hal yang sama dikatakan oleh Prof Tuti Parwati dari Fakultas Kedokteran Unud, orang yang kena Aids dan HIV adalah orang sering melakukan hubungan Sek bebas dengan gonta ganti passangan, dan diakuinya lebih banyak menyerang generasi muda produktif.(L3)
Mengenai Saya
- Indo Berita nusantara
- jakarta, selatan, Indonesia
- Indo Berita Nusantara merupakan situs berita internet yang memberikan informasi berbentuk berita diseluruh nusantara Alamat Jl. Joe. Gg. Kelapa Hijau Telp.(021)98265014 Anda punya berita atau informasi silahkan kirim ke e-mal : ibernas.jakarta@yahoo.com
Rabu, 27 Mei 2009
Human Smuggling
Tanjungpinang Debrief
Berada di tapal perbatasan negara-negara tetangga ASEAN serta dilintasi jalur pelayaran dunia, menempatkan Propinsi Kepulauan Riau sebagai kawasan ideal bagi kegiatan bisnis dan perdagangan. Namun di sisi lain membuatnya rawan dari aksi kejahatan internasional, termasuk penyelundupan dan perdagangan manusia.
Secara prinsip tindak penyelundupan dan perdagangan manusia antar negara merupakan ekses ketidakstabilan politik dan ekonomi global. Masih teringat dalam ingatan gelombang pengungsi Vietnam dan Kamboja ke Pulau Galang akibat konflik Indochina 1970 – 1980. Serta eksodus warga China daratan karena himpitan ekonomi pada dekade 1980-an.
Di dalam negeri, banyaknya PHK pasca badai krisis moneter mendorong sebagian masyarakat menengah bawah di beberapa propinsi seperti Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Riau, Lampung, Jawa Timur serta NTB mencari peruntungan ke negeri jiran. Tanpa ketrampilan kerja memadai, para TKI ilegal itu umumnya mengisi sektor non formal seperti pekerja perkebunan sawit hingga pelayan bar remang-remang. Sebagian besar memilih masuk menggunakan paspor kunjungan wisata berjangka waktu terbatas. Sedang sisanya memilih menyusup ke daratan Malaysia melalui pelabuhan rakyat alias pelabuhan tikus.
Berdasarkan pengakuan seorang TKI ilegal asal Tanjung Balai Asahan, Sumatra Utara bernama Nurdin, TKI ilegal yang tidak memiliki paspor biasanya hanya melengkapi diri dengan surat keterangan pelaut seharga 450.000 rupiah. Berawal dari bujukan manis tekong setempat bernama Hamid, dirinya dibawa ke Malaysia menggunakan perahu pompong bersama 11 calon TKI lain. Dalam perjalanan yang menempuh waktu semalam, seluruh penumpang dipaksa tiarap dalam perahu yang sempit ketika berpapasan dengan kapal lain.
Sempat bekerja sebagai pelayan kedai di Kelantan selama 3 bulan, pada Maret 2009 Nurdin ditangkap milisi RELA. Karena tidak memiliki paspor, lelaki 27 Tahun yang putus SMA ini harus menjalani hukuman sebat (cambuk) rotan sebanyak 2 kali di bagian panggul. Belum kering luka sebat, 4 hari kemudian langsung dideportasi ke Tanah Air melalui Tanjungpinang dengan ferry Batamline. Dapat dibayangkan betapa tersiksanya Nurdin karena tidak bisa duduk nyaman di kursi penumpang padahal pelayaran memakan waktu 4 jam.
Sejatinya ada puluhan Nurdin lain yang setiap pekan mendarat di Tanjungpinang dengan ferry yang sama. Berdasarkan pantauan di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Batamline saban minggu mengangkut TKI deportasi dalam 2-3 perjalanan. Dimana setiap trip membawa 130 – 150 orang termasuk wanita dan anak-anak. Bahkan pada trip tertentu jumlah TKI wanita mencapai ¾ dari total yang dipulangkan. Biasanya kedatangan para TKI deportasi berlangsung pada Selasa, Rabu atau Minggu malam sekitar pukul 19.30 – 20.00 WIB.
Begitu mendarat di Sri Bintan Pura, para TKI deportasi segera diangkut ke rumah penampungan di Batu Delapan sebelum dipulangkan ke kampung halaman masing-masing dengan kapal Pelni. Kondisi penampungan sendiri sangat memprihatinkan mengingat ketersediaan fasilitas akomodasi –termasuk sanitasi- tidak sebanding dengan banyaknya TKI. Bahkan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Pemerintah Kota Tanjungpinang sekaligus Ketua Satgas Pemulangan TKI, Said Parman, sendiri mengaku kewalahan menangani masalah kesehatan TKI di penampungan. Pasalnya selama ini pihak Pemko sudah disibukan dengan urusan transportasi dan konsumsi makanan. Untuk itu Pemko meminta perhatian pemerintah pusat terkait masalah kesehatan TKI.
Selain didera buruknya sanitasi, TKI di penampungan ternyata masih rawan terjebak praktek human trafficking. Kerap dalam area penampungan ditemukan calo tekong berupaya menebus TKI sebesar 150 – 300 ribu rupiah per kepala berkedok kerabat sang TKI yang hendak menjemput. Bahkan awal Mei silam berhasil terkuak praktek trafficking TKI dengan didalangi seorang oknum polisi. Lebih jauh Said menuturkan semenjak Kuala Lumpur memberlakukan kebijakan deportasi, telah dipulangkan 118.000 TKI ilegal melalui Tanjungpinang. Dan pada tahun 2009 diperkirakan bakal dipulangkan lagi 105.000 orang, termasuk di dalamnya 80.000 bekas pengungsi Tsunami asal Aceh.
Meski terkesan tidak berperikemanusiaan, Kuala Lumpur berdalih langkah deportasi dilakukan untuk mengurangi aksi kriminalitas yang banyak dilakukan oleh Indon – julukan warga Malaysia buat TKI. Apalagi di tengah kondisi krisis global yang memaksa pengusaha setempat menurunkan aktivitas industri. Oleh karena itu sangat diharapkan pengembangan FTZ Batam-Bintan Karimun dapat menstrimulus pembukaan lapangan kerja secara massif di Kepri, yang tentunya akan mengurangi eksodus TKI ilegal.
Illegal Entry
Selain polemik TKI ilegal, Kepri khususnya Tanjungpinang dan Bintan kini juga dipusingkan oleh masuknya pengungsi gelap dari Asia Selatan, seperti Afganistan, Irak dan Sri Lanka. Seperti diketahui ketiga negara tersebut tengah mengalami konflik bersenjata yang panjang. Di Afganistan dan Irak, operasi militer AS justru menciptakan instabilitas berlarut-larut. Sedang di Sri Lanka, tekanan militer Colombo atas posisi gerilyawan Gerakan Macan Tamil Eelam (LTTE) di utara Sri Lanka telah menimbulkan gelombang pengungsian etnis Tamil.
Diperkirakan kawasan Kepri –khususnya Bintan dan Tanjungpinang- menjadi salah satu lokasi pelarian para pengungsi asing tersebut. Ini terkait dengan kondisi geografis Pulau Bintan yang memiliki perimeter berupa pantai landai berombak tenang sepanjang 170 kilometer. Belum lagi kehadiran pelabuhan tikus yang tersebar di seantero pesisir pulau. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa dari sinilah kerap terjadi penyelundupan barang maupun manusia.
Dugaan penetrasi pengungsi asing di Bintan terbukti pada tanggal 4 Mei 2009 ketika jajaran kepolisian dan imigrasi setempat menangkap 18 imigran gelap asal Afganistan ketika hendak berlayar ke Jakarta menggunakan KM Dobonsolo. Para imigran sempat mencoba menyuap petugas sebesar 1.000 dollar AS, namun tidak diindahkan petugas. Saat diperiksa, diketahui bahwa dua hari sebelumnya mereka telah mendarat di Tanjung Berakit dari Malaysia. Kasus ini seakan menggenapi kasus illegal entry pengungsi Afganistan yang juga terjadi di Batam dan Karimun.
Uniknya hampir semua pengungsi Afganistan sebanyak 118 orang yang ditampung di Rumah Detensi Imigrasi Tanjungpinang, mengaku berasal dari suku minoritas Hazara yang mendiami kawasan Afganistan Tengah. Etnis ini masih memiliki ikatan kuat dengan etnis Persia di Iran yang tercermin dari aliran Islam Syiah yang mereka anut. Selama konflik AS – Taliban, etnis Hazara kerap diteror milisi Taliban yang memaksa ikut berperang melawan AS. Oleh karena itu mereka mencoba hengkang dari Afganistan menuju negara ketiga seperti Australia. Bahkan beberapa orang mengaku telah melarikan diri sejak 2 tahun silam lewat jaringan penyelundupan manusia internasional.
Kuatnya dugaan keterlibatan mafia penyelundupan orang tersebut terlihat dari pengakuan seorang imigran Afganistan bernama Ghazni Jumakar. Dituturkan pelariannya diatur oleh beberapa agen berkebangsaan Afganistan, Iran dan Indonesia. Adapun ongkos pelarian berkisar antara 6.000 - 7.500 dollar AS. Semula rombongan Ghazni akan singgah ke Kantor Perwakilan PBB di Jakarta sebelum menuju Australia. Namun keburu tertangkap petugas di Batam. Selain itu beberapa imigran diketahui memegang Kartu Ijin Tinggal Terbatas (KITAS) Jakarta yang diduga palsu.
Modus penyelundupan imigran asal Afganistan dimulai ketika para pengungsi melalui perbatasan Afganistan – Pakistan maupun Iran untuk selanjutnya menuju Malaysia via udara. Atau langsung dari Bandara Kabul dan Kandahar menuju Malaysia. Sebagian diantaranya bahkan diduga terbang dari Dubai dan Kuwait menuju Malaysia berdasarkan visa yang dikeluarkan Suruhan Jaya Tinggi (setingkat perwakilan diplomatik) Malaysia di kedua negara tersebut.
Alasan mafia penyelundup manusia memilih Malaysia dan Indonesia sebagai batu loncatan adalah adanya perwakilan UNHCR di kedua negara tersebut. Khususnya Malaysia mengingat negara jiran ini masih memberlakukan bebas visa bagi warga negara Asia Selatan. Di sana para imigran asing ditampung oleh jaringan mafia pada beberapa apartemen. Setelah sebulan berlalu barulah para imigran dibawa ke Johor Baru untuk kemudian menyeberang ke Indonesia. Salah satu jaringan penyelundup tersebut adalah para tekong TKI ilegal asal Indonesia.
Berbeda ketika datang di Malaysia, imigran gelap Afganistan masuk ke Indonesia secara diam-diam lewat pelabuhan tikus. Saat mendarat itulah oknum mafia sengaja menghilangkan dokumen perjalanan dan identitas imigran pengungsi. Seperti Ghazni yang mengaku kehilangan paspor karena diambil orang tak dikenal di Batam. Ini adalah jebakan agar para imigran gagal mencapai Australia karena ‘mudah’ tertangkap aparat keamanan.
Dapat dikatakan jaringan mafia penyelundup manusia yang paling diuntungkan dari upaya pelarian pengungsi tadi. Sementara para imigran hanya bisa gigit jari di penampungan detensi imigrasi. Beban psikologis juga dirasakan oleh pemerintahan negara penampung imigran. Sebab meski dana dukungan hidup imigran sepenuhnya dipasok oleh lembaga internasional IOM (International Organization of Migration) dan UNHCR, kehadiran imigran asing dalam jumlah signifikan dapat menciptakan masalah sosial baru. Belum lagi ancaman infiltrasi jaringan teroris asing diantara para pengungsi. Kondisi tersebut sebetulnya pernah dialami pemerintah Indonesia saat menerima para pengungsi asing asal Irak yang kemudian ditampung pada beberapa wisma di kawasan Puncak, Jawa Barat pada awal tahun 2000-an.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut, sudah perlu dipikirkan membawa wacana penyelundupan pengungsi asing dalam pertemuan General Border Committee (GBC) antara Indonesia dan Malaysia. Selain itu perlu diperkuat pengamanan perbatasan Indonesia – Malaysia. Seperti yang dilakukan TNI-AL yang kini memprioritaskan pengamanan perbatasan dengan Malaysia.
Namun begitu ada baiknya meningkatkan kualitas dan kuantitas alutsista pengamanan perbatasan semisal dengan menambah jumlah kapal perang dan pesawat patrol maritim. Untuk diketahui pengamanan perairan Kepri oleh Lantamal IV mengandalkan 3 kapal perang kelas FPB-37/KAL-35 berikut belasan speedboat, pesawat intai maritim Nomad/CASA 212 plus helikopter Bolkow NBO-105. Bandingkan dengan negeri jiran sudah melengkapi diri dengan Fast Attack Craft (FAC) berpeluru kendali Sea Skua, pesawat patrol maritim Beechcraft dan CN 235 MPA serta helikopter anti kapal selam (ASW) Super Lynx.
Berada di tapal perbatasan negara-negara tetangga ASEAN serta dilintasi jalur pelayaran dunia, menempatkan Propinsi Kepulauan Riau sebagai kawasan ideal bagi kegiatan bisnis dan perdagangan. Namun di sisi lain membuatnya rawan dari aksi kejahatan internasional, termasuk penyelundupan dan perdagangan manusia.
Secara prinsip tindak penyelundupan dan perdagangan manusia antar negara merupakan ekses ketidakstabilan politik dan ekonomi global. Masih teringat dalam ingatan gelombang pengungsi Vietnam dan Kamboja ke Pulau Galang akibat konflik Indochina 1970 – 1980. Serta eksodus warga China daratan karena himpitan ekonomi pada dekade 1980-an.
Di dalam negeri, banyaknya PHK pasca badai krisis moneter mendorong sebagian masyarakat menengah bawah di beberapa propinsi seperti Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Riau, Lampung, Jawa Timur serta NTB mencari peruntungan ke negeri jiran. Tanpa ketrampilan kerja memadai, para TKI ilegal itu umumnya mengisi sektor non formal seperti pekerja perkebunan sawit hingga pelayan bar remang-remang. Sebagian besar memilih masuk menggunakan paspor kunjungan wisata berjangka waktu terbatas. Sedang sisanya memilih menyusup ke daratan Malaysia melalui pelabuhan rakyat alias pelabuhan tikus.
Berdasarkan pengakuan seorang TKI ilegal asal Tanjung Balai Asahan, Sumatra Utara bernama Nurdin, TKI ilegal yang tidak memiliki paspor biasanya hanya melengkapi diri dengan surat keterangan pelaut seharga 450.000 rupiah. Berawal dari bujukan manis tekong setempat bernama Hamid, dirinya dibawa ke Malaysia menggunakan perahu pompong bersama 11 calon TKI lain. Dalam perjalanan yang menempuh waktu semalam, seluruh penumpang dipaksa tiarap dalam perahu yang sempit ketika berpapasan dengan kapal lain.
Sempat bekerja sebagai pelayan kedai di Kelantan selama 3 bulan, pada Maret 2009 Nurdin ditangkap milisi RELA. Karena tidak memiliki paspor, lelaki 27 Tahun yang putus SMA ini harus menjalani hukuman sebat (cambuk) rotan sebanyak 2 kali di bagian panggul. Belum kering luka sebat, 4 hari kemudian langsung dideportasi ke Tanah Air melalui Tanjungpinang dengan ferry Batamline. Dapat dibayangkan betapa tersiksanya Nurdin karena tidak bisa duduk nyaman di kursi penumpang padahal pelayaran memakan waktu 4 jam.
Sejatinya ada puluhan Nurdin lain yang setiap pekan mendarat di Tanjungpinang dengan ferry yang sama. Berdasarkan pantauan di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Batamline saban minggu mengangkut TKI deportasi dalam 2-3 perjalanan. Dimana setiap trip membawa 130 – 150 orang termasuk wanita dan anak-anak. Bahkan pada trip tertentu jumlah TKI wanita mencapai ¾ dari total yang dipulangkan. Biasanya kedatangan para TKI deportasi berlangsung pada Selasa, Rabu atau Minggu malam sekitar pukul 19.30 – 20.00 WIB.
Begitu mendarat di Sri Bintan Pura, para TKI deportasi segera diangkut ke rumah penampungan di Batu Delapan sebelum dipulangkan ke kampung halaman masing-masing dengan kapal Pelni. Kondisi penampungan sendiri sangat memprihatinkan mengingat ketersediaan fasilitas akomodasi –termasuk sanitasi- tidak sebanding dengan banyaknya TKI. Bahkan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Pemerintah Kota Tanjungpinang sekaligus Ketua Satgas Pemulangan TKI, Said Parman, sendiri mengaku kewalahan menangani masalah kesehatan TKI di penampungan. Pasalnya selama ini pihak Pemko sudah disibukan dengan urusan transportasi dan konsumsi makanan. Untuk itu Pemko meminta perhatian pemerintah pusat terkait masalah kesehatan TKI.
Selain didera buruknya sanitasi, TKI di penampungan ternyata masih rawan terjebak praktek human trafficking. Kerap dalam area penampungan ditemukan calo tekong berupaya menebus TKI sebesar 150 – 300 ribu rupiah per kepala berkedok kerabat sang TKI yang hendak menjemput. Bahkan awal Mei silam berhasil terkuak praktek trafficking TKI dengan didalangi seorang oknum polisi. Lebih jauh Said menuturkan semenjak Kuala Lumpur memberlakukan kebijakan deportasi, telah dipulangkan 118.000 TKI ilegal melalui Tanjungpinang. Dan pada tahun 2009 diperkirakan bakal dipulangkan lagi 105.000 orang, termasuk di dalamnya 80.000 bekas pengungsi Tsunami asal Aceh.
Meski terkesan tidak berperikemanusiaan, Kuala Lumpur berdalih langkah deportasi dilakukan untuk mengurangi aksi kriminalitas yang banyak dilakukan oleh Indon – julukan warga Malaysia buat TKI. Apalagi di tengah kondisi krisis global yang memaksa pengusaha setempat menurunkan aktivitas industri. Oleh karena itu sangat diharapkan pengembangan FTZ Batam-Bintan Karimun dapat menstrimulus pembukaan lapangan kerja secara massif di Kepri, yang tentunya akan mengurangi eksodus TKI ilegal.
Illegal Entry
Selain polemik TKI ilegal, Kepri khususnya Tanjungpinang dan Bintan kini juga dipusingkan oleh masuknya pengungsi gelap dari Asia Selatan, seperti Afganistan, Irak dan Sri Lanka. Seperti diketahui ketiga negara tersebut tengah mengalami konflik bersenjata yang panjang. Di Afganistan dan Irak, operasi militer AS justru menciptakan instabilitas berlarut-larut. Sedang di Sri Lanka, tekanan militer Colombo atas posisi gerilyawan Gerakan Macan Tamil Eelam (LTTE) di utara Sri Lanka telah menimbulkan gelombang pengungsian etnis Tamil.
Diperkirakan kawasan Kepri –khususnya Bintan dan Tanjungpinang- menjadi salah satu lokasi pelarian para pengungsi asing tersebut. Ini terkait dengan kondisi geografis Pulau Bintan yang memiliki perimeter berupa pantai landai berombak tenang sepanjang 170 kilometer. Belum lagi kehadiran pelabuhan tikus yang tersebar di seantero pesisir pulau. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa dari sinilah kerap terjadi penyelundupan barang maupun manusia.
Dugaan penetrasi pengungsi asing di Bintan terbukti pada tanggal 4 Mei 2009 ketika jajaran kepolisian dan imigrasi setempat menangkap 18 imigran gelap asal Afganistan ketika hendak berlayar ke Jakarta menggunakan KM Dobonsolo. Para imigran sempat mencoba menyuap petugas sebesar 1.000 dollar AS, namun tidak diindahkan petugas. Saat diperiksa, diketahui bahwa dua hari sebelumnya mereka telah mendarat di Tanjung Berakit dari Malaysia. Kasus ini seakan menggenapi kasus illegal entry pengungsi Afganistan yang juga terjadi di Batam dan Karimun.
Uniknya hampir semua pengungsi Afganistan sebanyak 118 orang yang ditampung di Rumah Detensi Imigrasi Tanjungpinang, mengaku berasal dari suku minoritas Hazara yang mendiami kawasan Afganistan Tengah. Etnis ini masih memiliki ikatan kuat dengan etnis Persia di Iran yang tercermin dari aliran Islam Syiah yang mereka anut. Selama konflik AS – Taliban, etnis Hazara kerap diteror milisi Taliban yang memaksa ikut berperang melawan AS. Oleh karena itu mereka mencoba hengkang dari Afganistan menuju negara ketiga seperti Australia. Bahkan beberapa orang mengaku telah melarikan diri sejak 2 tahun silam lewat jaringan penyelundupan manusia internasional.
Kuatnya dugaan keterlibatan mafia penyelundupan orang tersebut terlihat dari pengakuan seorang imigran Afganistan bernama Ghazni Jumakar. Dituturkan pelariannya diatur oleh beberapa agen berkebangsaan Afganistan, Iran dan Indonesia. Adapun ongkos pelarian berkisar antara 6.000 - 7.500 dollar AS. Semula rombongan Ghazni akan singgah ke Kantor Perwakilan PBB di Jakarta sebelum menuju Australia. Namun keburu tertangkap petugas di Batam. Selain itu beberapa imigran diketahui memegang Kartu Ijin Tinggal Terbatas (KITAS) Jakarta yang diduga palsu.
Modus penyelundupan imigran asal Afganistan dimulai ketika para pengungsi melalui perbatasan Afganistan – Pakistan maupun Iran untuk selanjutnya menuju Malaysia via udara. Atau langsung dari Bandara Kabul dan Kandahar menuju Malaysia. Sebagian diantaranya bahkan diduga terbang dari Dubai dan Kuwait menuju Malaysia berdasarkan visa yang dikeluarkan Suruhan Jaya Tinggi (setingkat perwakilan diplomatik) Malaysia di kedua negara tersebut.
Alasan mafia penyelundup manusia memilih Malaysia dan Indonesia sebagai batu loncatan adalah adanya perwakilan UNHCR di kedua negara tersebut. Khususnya Malaysia mengingat negara jiran ini masih memberlakukan bebas visa bagi warga negara Asia Selatan. Di sana para imigran asing ditampung oleh jaringan mafia pada beberapa apartemen. Setelah sebulan berlalu barulah para imigran dibawa ke Johor Baru untuk kemudian menyeberang ke Indonesia. Salah satu jaringan penyelundup tersebut adalah para tekong TKI ilegal asal Indonesia.
Berbeda ketika datang di Malaysia, imigran gelap Afganistan masuk ke Indonesia secara diam-diam lewat pelabuhan tikus. Saat mendarat itulah oknum mafia sengaja menghilangkan dokumen perjalanan dan identitas imigran pengungsi. Seperti Ghazni yang mengaku kehilangan paspor karena diambil orang tak dikenal di Batam. Ini adalah jebakan agar para imigran gagal mencapai Australia karena ‘mudah’ tertangkap aparat keamanan.
Dapat dikatakan jaringan mafia penyelundup manusia yang paling diuntungkan dari upaya pelarian pengungsi tadi. Sementara para imigran hanya bisa gigit jari di penampungan detensi imigrasi. Beban psikologis juga dirasakan oleh pemerintahan negara penampung imigran. Sebab meski dana dukungan hidup imigran sepenuhnya dipasok oleh lembaga internasional IOM (International Organization of Migration) dan UNHCR, kehadiran imigran asing dalam jumlah signifikan dapat menciptakan masalah sosial baru. Belum lagi ancaman infiltrasi jaringan teroris asing diantara para pengungsi. Kondisi tersebut sebetulnya pernah dialami pemerintah Indonesia saat menerima para pengungsi asing asal Irak yang kemudian ditampung pada beberapa wisma di kawasan Puncak, Jawa Barat pada awal tahun 2000-an.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut, sudah perlu dipikirkan membawa wacana penyelundupan pengungsi asing dalam pertemuan General Border Committee (GBC) antara Indonesia dan Malaysia. Selain itu perlu diperkuat pengamanan perbatasan Indonesia – Malaysia. Seperti yang dilakukan TNI-AL yang kini memprioritaskan pengamanan perbatasan dengan Malaysia.
Namun begitu ada baiknya meningkatkan kualitas dan kuantitas alutsista pengamanan perbatasan semisal dengan menambah jumlah kapal perang dan pesawat patrol maritim. Untuk diketahui pengamanan perairan Kepri oleh Lantamal IV mengandalkan 3 kapal perang kelas FPB-37/KAL-35 berikut belasan speedboat, pesawat intai maritim Nomad/CASA 212 plus helikopter Bolkow NBO-105. Bandingkan dengan negeri jiran sudah melengkapi diri dengan Fast Attack Craft (FAC) berpeluru kendali Sea Skua, pesawat patrol maritim Beechcraft dan CN 235 MPA serta helikopter anti kapal selam (ASW) Super Lynx.
Battleground for Local Representative
Election’s Brief : Kota Tanjungpinang
Secara umum Pemilu Legislatif (pileg) di Kota Tanjungpinang yang diikuti 38 parpol berjalan kondusif. Untuk mengamankan pesta demokrasi tersebut, Polresta Tanjungpinang mengerahkan ¾ kekuatan dari total 438 personil. Belum termasuk BKO Brimob Kepri dan perbantuan 30 personil TNI.
Walau begitu Panwaslu Tanjungpinang mencatat lusinan pelanggaran terjadi sepanjang Januari – awal Maret 2009. Kebanyakan berupa kampanye terselubung. Seperti yang dilakukan caleg DPRD Kepri dari Partai Demokrat, Yulius Baka, yang sudah menjalani peradilan akhir Maret lalu. Memasuki masa kampanye terjadi 16 pelanggaran, kebanyakan perlibatan anak di bawah umur. Sedang saat pencontrengan terjadi lagi 6 kasus pelanggaran meliputi 3 kasus administrasi dan 3 kasus pidana. Untuk pelanggaran administrasi diantaranya bilik suara terlalu berdekatan, kertas suara yang telah ditandai serta tidak terdaftarnya penduduk asli dalam DPT. Sedang untuk kasus pidana antara lain pelarangan pemilih yang telah masuk DPT masuk TPS, kampanye terselubung caleg waktu pencontrengan serta penyalahgunaan undangan pemilih.
Namun menurut Ketua Pokja Pelanggaran Panwaslu Tanjungpinang, Muslim, tidak semua pelanggaran dapat dilaporkan kepada Gakumdu (Penegakan Hukum Terpadu) karena kurangnya barang bukti. Apalagi jarang saksi anggota masyarakat mau melaporkan kepada Panwaslu. Salah satu yang mencolok adalah penyalahgunaan undangan pemilih oleh seorang ketua RT di Kelurahan Sei Jang yang merangkap caleg DPRD Kota dari Partai Pelopor. Sebelumnya Ketua KPU Kepri, Den Yealta, pernah menuding aparat RT/RW tak lain kepanjangan tangan politisi lokal yang kini menduduki jabatan pemerintahan daerah. Oleh karena itu untuk pileg 2009 KPU tidak mengikutsertakan RT/RW dalam validasi DPT.
Hal ini kemudian berimbas pada ketidakakuratan daftar pemilih tetap (DPT). Buktinya sehari menjelang pemilu, Panwaslu Tanjungpinang menemukan sekitar 243 DPT ganda di Kecamatan Bukit Bestari. Diketahui pula banyak anggota masyarakat yang tidak masuk DPT pileg padahal sebelumnya terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Walikota. Belum lagi kasus sebagian kepala keluarga DPT terpaksa mencontreng di TPS berbeda. Dikarenakan perubahan sistem pencatatan DPT dari referensi Kartu Keluarga (KK) menjadi berdasarkan abjad nama pemilih.
Carut-marut registrasi pemilih turut mempengaruhi jumlah golput di Tanjungpinang. Dari sekitar 133.250 DPT hanya 81.573 orang saja atau 61,28 persen yang menggunakan hak pilihnya. Di sisi lain aroma golput sudah tercium lama dalam polling yang dilakukan LSM Kepri Research Centre (KRC) sepanjanng Januari – Maret silam. Dari 35.000 responden, sekitar 77 persen tidak tahu waktu penyelenggaraan Pemilu. Sementara 68 persen responden malah mengaku ragu-ragu untuk mencontreng. Alasan para responden mulai dari kebingungan memilih sekian banyak parpol dan caleg sampai kurangnya sosialisasi dari pemerintah maupun KPU tentang cara mencontreng.
Sebaliknya Ketua Pokja DPT KPUD Tanjungpinang, Zulkifli Riawan, menuding pihak parpol dan caleg turut bertanggung jawab atas kisruh DPT dan golput. Pasalnya parpol terlihat lamban melakukan penentuan Daftar Calon Tetap (DCT) di tengah KPU giat melakukan sosialisasi pemilu sekaligus memproses DPT. Keterlambatan waktu pengusungan figur caleg oleh parpol menyebabkan masyarakat enggan mendaftarkan diri dalam DPT. Bak bom waktu, rush registrasi DPT pun merebak saat penetapan DCT. Padahal pendataan DPT telah lama ditutup.
Minimnya sosialisasi mekanisme Pemilu juga dirasakan jajaran panitia perhitungan suara di tingkat kelurahan maupun kecamatan. Akibatnya ada sebagian petugas KPPS salah memasukan suara caleg hingga lupa memasukan lembar formulir teli C2 ataupun lembar berita acara perhitungan suara ke dalam kotak suara. Inilah yang memancing kisruh rekapitulasi di tingkat kecamatan antara PPK dengan saksi parpol. Situasi diperparah oleh ketidakmengertian petugas PPK dalam melakukan prosedur rekapitulasi. Apalagi rekap masih menghitung kembali suara tiap TPS di tiap kelurahan. Ujung-ujungnya perhitungan suara molor dari jadwal semula.
Sejumlah kasus sengketa suara di PPK Tanjungpinang terjadi di Kecamatan Tanjungpinang Timur dan Bukit Bestari. Polemik di Tanjungpinang Timur mencuat ketika memasuki rekap DPRD Kota untuk Kelurahan Melayu Kota Piring, dengan tidak ditemukannya formulir C2 maupun surat suara dari kotak TPS 156. Hal serupa juga terjadi di Bukit Bestari dimana saat rekap Kelurahan Sei Jang diketahui berita acara rekapitulasi DPRD Kota dari TPS 245 mendadak raib. Disusul kasus tertukarnya isi kotak suara DPRD Kota antara TPS 287 dan 301. Tak kurang Ketua KPU Tanjungpinang, Hamid Ali, menuding adanya upaya penyabotan rekap dengan modus menyembunyikan berita acara rekap TPS 245.
Hamid Ali sendiri tidak mengelak isu sengketa rekap suara tingkat DPRD terkait peningkatan eskalasi politik daerah menjelang pilkada tahun depan. Hal serupa juga diutarakan oleh anggota Panwaslu Kepri, Fajri Nasution, yang mencermati sengketa rekap justru kerap terjadi di tingkat DPRD Propinsi maupun Kota/Kabupaten. Tapi Hamid maupun Fajri sepakat kesalahan perhitungan tak lepas dari faktor human error petugas PPS dan PPK.
Lebih lanjut Fajri mensinyalir adanya upaya teroganisir untuk menggelembungkan suara caleg tertentu hingga selisih 100 suara lebih di sejumlah PPK di Kepri. Termasuk melalui ‘serangan malam.’ Dimana saat para saksi parpol jenuh menunggu rekap menjelang larut malam, beberapa oknum sengaja mengedarkan kopian rekap tanpa stempel PPK dan tandatangan saksi parpol. Diibaratkannya aksi kecurangan tadi semacam kentut : mudah tercium tapi sulit dibuktikan.
Tingginya vested interest individu caleg –bukan parpol- terlihat kental saat rekapitulasi tingkat KPU kota Tanjungpinang. Sepanjang tiga hari rekap kerap dihujani interupsi caleg soal validitas suara yang bersumber dari PPK. Adalah mantan anggota DPRD Kota Tanjungpinang periode 1999 – 2004 dari PDIP bernama Andi Cori F. yang menjadi provokator para caleg mempertanyakan nasib suara mereka kepada KPUD. Selain marak interupsi, rapat rekapitulasi tingkat kota Tanjungpinang juga ‘diawasi’ ketat oleh pihak Polresta Tanjungpinang. Kerap personil Brimob/Samapta bersenjata SS-1 bersiaga di dalam ruangan saat rapat berlangsung. Termasuk Kapolresta Tanjungpinang AKBP Yusri Yunus yang rajin menunggui proses rapat hingga larut malam.
Klimaks protes para caleg Tanjungpinang pecah saat KPUD penyelesaian rekap Tanjungpinang Timur. Dimana caleg dari PPRN dan Gerindra mempertanyakan nasib suara mereka yang hilang masing-masing di TPS 10 Kelurahan Tanjungpinang Timur, TPS 17 Melayu Kota Piring, TPS 22 Kampung Bulang dan TPS 9 Kelurahan Pinang Kencana. Tak puas langkah pembuktian KPU lewat teli, beberapa caleg diantaranya Gatot Indraguna dari Gerindra, Ashadi Selayar (Golkar), Devi Yanti Nur (Partai Merdeka) dan John Kennedy (PPRN) mendeklarasikan kaukus politik tolak hasil pemilu. Mereka pun mencoba menggalang simpati sejumlah caleg DPRD Propinsi dari 20 parpol antara lain Partai Barnas, Hanura, PDIP, PNBK Indonesia, PPIB, PKB, PPD, PPI, PMB, PNI, PKPI, PAN, Partai Sertikat Indonesia, PPRN, PDK, Partai Patriot serta Partai Demokrat.
Pada tanggal 22 – 23 April 2009, perwakilan kaukus secara resmi menyerahkan keberatan atas hasil perhitungan pemilu kepada KPUD Tanjungpinang dan KPUD Kepri. Dilanjutkan tanggal 29 April 2009 dengan menggelar unjuk rasa yang melibatkan 200 simpatisan ke kantor Panwaslu dan KPU Tanjungpinang. Disini tidak lagi mengusung nama kaukus melainkan Koalisi Politik Pembela Kebenaran dan Keadilan (KP2KK). Seorang pendemo yang juga caleg PPRN bernama Surip mengaku KP2KK memiliki kaitan dengan Koalisi Kebenaran dan Keadilan di Batam. Walau begitu terakhir KP2KK hanya didukung 17 partai. Sedang partai lainnya seperti PDK dan Demokrat yang sebelumnya mendukung koalisi kemudian beralih mendukung hasil perhitungan pemilu serta menyatakan institusi parpol tidak terlibat dalam KP2KK.
Cukup dipahami keresahan para caleg tersebut. Pasalnya untuk kampanye saja mereka harus merogoh kocek pribadi lumayan besar. Semisal Surip yang mengaku harus merogoh dana pribadi minimal Rp50 juta buat kampanye sebagai caleg nomor 2 dari PPRN untuk DPRD Kota. Bandingkan dengan caleg DPRD Kepri asal Batam, Titin Nurbaini alias Jeng Ayu yang mengaku mengeluarkan dana Rp1,4 miliar di luar jatah tim sukses sebesar Rp200 juta. Lain lagi kasus yang terjadi di Bintan, dimana banyak caleg berhutang kepada sejumlah percetakan atribut pemilu sebesar Rp5 – 20 juta.
Itu baru cost perkenalan. Selanjutnya saat pemilu para caleg harus bersaing ketat meraih satu suara pemilih. Persaingan pun berlangsung antar sesama caleg dalam satu parpol yang kerap berujung perebutan konstituen. Seorang tim sukses caleg di Bintan membeberkan walau sudah mengeluarkan dana kampanye ratusan juta rupiah, sang caleg hanya mendapat suara tak lebih dari puluhan batang teli. Jika memilih jalan pintas, seorang caleg dapat ‘membeli’ suara seharga sebesar Rp50 – 100 ribu per suara. Namun bila memilih bermain bersih –seperti pengakuan Andi Cori- satu suara konstituen harus digalang minimal 6 bulan.
Di luar kontroversi rekapitulasi suara pemilu Tanjungpinang, PDIP kembali mendominasi dengan memperoleh suara terbanyak untuk DPRD Kepri yakni 13.616 suara. Sedang untuk DPRD Kota, PDIP sanggup menangguk 4 kursi dari total 24 kursi. Kemenangan itu seakan menunjukan Tanjungpinang sebagai kantung basis Sang Moncong Putih di tengah dominasi Golkar seantero Kepri. Apalagi dengan adanya dukungan kuat dari etnis Tionghoa setempat yang menganggap PDIP cukup mengakomodir aspirasi politik mereka.
Kemapanan politik etnis Tionghoa di Tanjungpinang terlihat dari keberhasilan PPIB mengantarkan caleg Rudi Chua kembali duduk di Gurindam Jiwa bersama 2 caleg PPIB lain dari Dapil Bintan/Lingga. Sedang untuk DPRD Kota, PPIB setidaknya menempatkan 2 calegnya yaitu Beni, SH. (Dapil I) dan Reni (Dapil III).
Sementara untuk tingkat DPR, suara terbesar diraih Partai Demokrat dengan 13.529 suara. Ini merupakan sinyal positif buat kubu SBY menjelang pilpres mendatang. Disebut-sebut keberhasilan SBY menciptakan situasi politik keamanan nasional yang kondusif menjadi poin pertimbangan publik Tanjungpinang. Khusus DPD, dapat ditebak suara terbanyak diraih first lady-nya Kepri, Aida Nasution Ismeth dengan 14.736 suara.
Meski begitu Aida “Zulaika” Ismeth sempat diterpa isu kecurangan oleh aktivis KAMPAK (Koalisi Mahasiswa Pemuda Pemudi Anti Korupsi) yang menuduhnya bersama caleg DPD lain bernama Atrice Ellen “Syaron” Manambe melakukan pergantian inisial nama abjad dalam DCT pileg.
Kiprah partai nasionalis di ranah Gurindam sejatinya telah berlangsung pada Pemilu tahun 1955. Ketika itu partai Masyumi yang beraliran kanan harus bersaing ketat dengan PNI yang nasionalis dan PKI yang komunis. Memasuki dekade 1970 - 1990 , dominasi partai Islam digantikan oleh Golkar yang notabene kendaraan politik rezim Orde Baru. Memasuki masa Reformasi, giliran PDIP yang merajai percaturan politik Tanjungpinang hingga kini.
Yang jelas, kemenangan partai aliran nasionalis di Tanjunngpinang sangat dipengaruhi karakter sosial masyarakat yang multikultural. Kondisi tersebut kemudian turut menstimulus dinamika politik lokal di tengah kuatnya primordialisme ideologis masyarakat Tanjungpinang . Ini dicerminkan atas masuknya 16 muka baru di jajaran DPRD Kota Tanjungpinang yang berjumlah total 24 kursi. Adapun anggota dewan kota periode 2004 – 2009 yang mampu bertahan diantaranya Asep Nana Suryana dan Sukandar dari PDIP serta M. Arif (PKS). Demikian pula dengan anggota DPRD Kepri yang separuhnya bakal diisi wajah-wajah baru. Beberapa anggota dewan propinsi periode 2004 -2009 dari Dapil I/Tanjunngpinang yang mampu bertahan seperti Lis Darmansyah (PDIP), Surya Makmur Nasution (Demokrat) dan Syahniar Usman (Golkar).
Secara umum Pemilu Legislatif (pileg) di Kota Tanjungpinang yang diikuti 38 parpol berjalan kondusif. Untuk mengamankan pesta demokrasi tersebut, Polresta Tanjungpinang mengerahkan ¾ kekuatan dari total 438 personil. Belum termasuk BKO Brimob Kepri dan perbantuan 30 personil TNI.
Walau begitu Panwaslu Tanjungpinang mencatat lusinan pelanggaran terjadi sepanjang Januari – awal Maret 2009. Kebanyakan berupa kampanye terselubung. Seperti yang dilakukan caleg DPRD Kepri dari Partai Demokrat, Yulius Baka, yang sudah menjalani peradilan akhir Maret lalu. Memasuki masa kampanye terjadi 16 pelanggaran, kebanyakan perlibatan anak di bawah umur. Sedang saat pencontrengan terjadi lagi 6 kasus pelanggaran meliputi 3 kasus administrasi dan 3 kasus pidana. Untuk pelanggaran administrasi diantaranya bilik suara terlalu berdekatan, kertas suara yang telah ditandai serta tidak terdaftarnya penduduk asli dalam DPT. Sedang untuk kasus pidana antara lain pelarangan pemilih yang telah masuk DPT masuk TPS, kampanye terselubung caleg waktu pencontrengan serta penyalahgunaan undangan pemilih.
Namun menurut Ketua Pokja Pelanggaran Panwaslu Tanjungpinang, Muslim, tidak semua pelanggaran dapat dilaporkan kepada Gakumdu (Penegakan Hukum Terpadu) karena kurangnya barang bukti. Apalagi jarang saksi anggota masyarakat mau melaporkan kepada Panwaslu. Salah satu yang mencolok adalah penyalahgunaan undangan pemilih oleh seorang ketua RT di Kelurahan Sei Jang yang merangkap caleg DPRD Kota dari Partai Pelopor. Sebelumnya Ketua KPU Kepri, Den Yealta, pernah menuding aparat RT/RW tak lain kepanjangan tangan politisi lokal yang kini menduduki jabatan pemerintahan daerah. Oleh karena itu untuk pileg 2009 KPU tidak mengikutsertakan RT/RW dalam validasi DPT.
Hal ini kemudian berimbas pada ketidakakuratan daftar pemilih tetap (DPT). Buktinya sehari menjelang pemilu, Panwaslu Tanjungpinang menemukan sekitar 243 DPT ganda di Kecamatan Bukit Bestari. Diketahui pula banyak anggota masyarakat yang tidak masuk DPT pileg padahal sebelumnya terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Walikota. Belum lagi kasus sebagian kepala keluarga DPT terpaksa mencontreng di TPS berbeda. Dikarenakan perubahan sistem pencatatan DPT dari referensi Kartu Keluarga (KK) menjadi berdasarkan abjad nama pemilih.
Carut-marut registrasi pemilih turut mempengaruhi jumlah golput di Tanjungpinang. Dari sekitar 133.250 DPT hanya 81.573 orang saja atau 61,28 persen yang menggunakan hak pilihnya. Di sisi lain aroma golput sudah tercium lama dalam polling yang dilakukan LSM Kepri Research Centre (KRC) sepanjanng Januari – Maret silam. Dari 35.000 responden, sekitar 77 persen tidak tahu waktu penyelenggaraan Pemilu. Sementara 68 persen responden malah mengaku ragu-ragu untuk mencontreng. Alasan para responden mulai dari kebingungan memilih sekian banyak parpol dan caleg sampai kurangnya sosialisasi dari pemerintah maupun KPU tentang cara mencontreng.
Sebaliknya Ketua Pokja DPT KPUD Tanjungpinang, Zulkifli Riawan, menuding pihak parpol dan caleg turut bertanggung jawab atas kisruh DPT dan golput. Pasalnya parpol terlihat lamban melakukan penentuan Daftar Calon Tetap (DCT) di tengah KPU giat melakukan sosialisasi pemilu sekaligus memproses DPT. Keterlambatan waktu pengusungan figur caleg oleh parpol menyebabkan masyarakat enggan mendaftarkan diri dalam DPT. Bak bom waktu, rush registrasi DPT pun merebak saat penetapan DCT. Padahal pendataan DPT telah lama ditutup.
Minimnya sosialisasi mekanisme Pemilu juga dirasakan jajaran panitia perhitungan suara di tingkat kelurahan maupun kecamatan. Akibatnya ada sebagian petugas KPPS salah memasukan suara caleg hingga lupa memasukan lembar formulir teli C2 ataupun lembar berita acara perhitungan suara ke dalam kotak suara. Inilah yang memancing kisruh rekapitulasi di tingkat kecamatan antara PPK dengan saksi parpol. Situasi diperparah oleh ketidakmengertian petugas PPK dalam melakukan prosedur rekapitulasi. Apalagi rekap masih menghitung kembali suara tiap TPS di tiap kelurahan. Ujung-ujungnya perhitungan suara molor dari jadwal semula.
Sejumlah kasus sengketa suara di PPK Tanjungpinang terjadi di Kecamatan Tanjungpinang Timur dan Bukit Bestari. Polemik di Tanjungpinang Timur mencuat ketika memasuki rekap DPRD Kota untuk Kelurahan Melayu Kota Piring, dengan tidak ditemukannya formulir C2 maupun surat suara dari kotak TPS 156. Hal serupa juga terjadi di Bukit Bestari dimana saat rekap Kelurahan Sei Jang diketahui berita acara rekapitulasi DPRD Kota dari TPS 245 mendadak raib. Disusul kasus tertukarnya isi kotak suara DPRD Kota antara TPS 287 dan 301. Tak kurang Ketua KPU Tanjungpinang, Hamid Ali, menuding adanya upaya penyabotan rekap dengan modus menyembunyikan berita acara rekap TPS 245.
Hamid Ali sendiri tidak mengelak isu sengketa rekap suara tingkat DPRD terkait peningkatan eskalasi politik daerah menjelang pilkada tahun depan. Hal serupa juga diutarakan oleh anggota Panwaslu Kepri, Fajri Nasution, yang mencermati sengketa rekap justru kerap terjadi di tingkat DPRD Propinsi maupun Kota/Kabupaten. Tapi Hamid maupun Fajri sepakat kesalahan perhitungan tak lepas dari faktor human error petugas PPS dan PPK.
Lebih lanjut Fajri mensinyalir adanya upaya teroganisir untuk menggelembungkan suara caleg tertentu hingga selisih 100 suara lebih di sejumlah PPK di Kepri. Termasuk melalui ‘serangan malam.’ Dimana saat para saksi parpol jenuh menunggu rekap menjelang larut malam, beberapa oknum sengaja mengedarkan kopian rekap tanpa stempel PPK dan tandatangan saksi parpol. Diibaratkannya aksi kecurangan tadi semacam kentut : mudah tercium tapi sulit dibuktikan.
Tingginya vested interest individu caleg –bukan parpol- terlihat kental saat rekapitulasi tingkat KPU kota Tanjungpinang. Sepanjang tiga hari rekap kerap dihujani interupsi caleg soal validitas suara yang bersumber dari PPK. Adalah mantan anggota DPRD Kota Tanjungpinang periode 1999 – 2004 dari PDIP bernama Andi Cori F. yang menjadi provokator para caleg mempertanyakan nasib suara mereka kepada KPUD. Selain marak interupsi, rapat rekapitulasi tingkat kota Tanjungpinang juga ‘diawasi’ ketat oleh pihak Polresta Tanjungpinang. Kerap personil Brimob/Samapta bersenjata SS-1 bersiaga di dalam ruangan saat rapat berlangsung. Termasuk Kapolresta Tanjungpinang AKBP Yusri Yunus yang rajin menunggui proses rapat hingga larut malam.
Klimaks protes para caleg Tanjungpinang pecah saat KPUD penyelesaian rekap Tanjungpinang Timur. Dimana caleg dari PPRN dan Gerindra mempertanyakan nasib suara mereka yang hilang masing-masing di TPS 10 Kelurahan Tanjungpinang Timur, TPS 17 Melayu Kota Piring, TPS 22 Kampung Bulang dan TPS 9 Kelurahan Pinang Kencana. Tak puas langkah pembuktian KPU lewat teli, beberapa caleg diantaranya Gatot Indraguna dari Gerindra, Ashadi Selayar (Golkar), Devi Yanti Nur (Partai Merdeka) dan John Kennedy (PPRN) mendeklarasikan kaukus politik tolak hasil pemilu. Mereka pun mencoba menggalang simpati sejumlah caleg DPRD Propinsi dari 20 parpol antara lain Partai Barnas, Hanura, PDIP, PNBK Indonesia, PPIB, PKB, PPD, PPI, PMB, PNI, PKPI, PAN, Partai Sertikat Indonesia, PPRN, PDK, Partai Patriot serta Partai Demokrat.
Pada tanggal 22 – 23 April 2009, perwakilan kaukus secara resmi menyerahkan keberatan atas hasil perhitungan pemilu kepada KPUD Tanjungpinang dan KPUD Kepri. Dilanjutkan tanggal 29 April 2009 dengan menggelar unjuk rasa yang melibatkan 200 simpatisan ke kantor Panwaslu dan KPU Tanjungpinang. Disini tidak lagi mengusung nama kaukus melainkan Koalisi Politik Pembela Kebenaran dan Keadilan (KP2KK). Seorang pendemo yang juga caleg PPRN bernama Surip mengaku KP2KK memiliki kaitan dengan Koalisi Kebenaran dan Keadilan di Batam. Walau begitu terakhir KP2KK hanya didukung 17 partai. Sedang partai lainnya seperti PDK dan Demokrat yang sebelumnya mendukung koalisi kemudian beralih mendukung hasil perhitungan pemilu serta menyatakan institusi parpol tidak terlibat dalam KP2KK.
Cukup dipahami keresahan para caleg tersebut. Pasalnya untuk kampanye saja mereka harus merogoh kocek pribadi lumayan besar. Semisal Surip yang mengaku harus merogoh dana pribadi minimal Rp50 juta buat kampanye sebagai caleg nomor 2 dari PPRN untuk DPRD Kota. Bandingkan dengan caleg DPRD Kepri asal Batam, Titin Nurbaini alias Jeng Ayu yang mengaku mengeluarkan dana Rp1,4 miliar di luar jatah tim sukses sebesar Rp200 juta. Lain lagi kasus yang terjadi di Bintan, dimana banyak caleg berhutang kepada sejumlah percetakan atribut pemilu sebesar Rp5 – 20 juta.
Itu baru cost perkenalan. Selanjutnya saat pemilu para caleg harus bersaing ketat meraih satu suara pemilih. Persaingan pun berlangsung antar sesama caleg dalam satu parpol yang kerap berujung perebutan konstituen. Seorang tim sukses caleg di Bintan membeberkan walau sudah mengeluarkan dana kampanye ratusan juta rupiah, sang caleg hanya mendapat suara tak lebih dari puluhan batang teli. Jika memilih jalan pintas, seorang caleg dapat ‘membeli’ suara seharga sebesar Rp50 – 100 ribu per suara. Namun bila memilih bermain bersih –seperti pengakuan Andi Cori- satu suara konstituen harus digalang minimal 6 bulan.
Di luar kontroversi rekapitulasi suara pemilu Tanjungpinang, PDIP kembali mendominasi dengan memperoleh suara terbanyak untuk DPRD Kepri yakni 13.616 suara. Sedang untuk DPRD Kota, PDIP sanggup menangguk 4 kursi dari total 24 kursi. Kemenangan itu seakan menunjukan Tanjungpinang sebagai kantung basis Sang Moncong Putih di tengah dominasi Golkar seantero Kepri. Apalagi dengan adanya dukungan kuat dari etnis Tionghoa setempat yang menganggap PDIP cukup mengakomodir aspirasi politik mereka.
Kemapanan politik etnis Tionghoa di Tanjungpinang terlihat dari keberhasilan PPIB mengantarkan caleg Rudi Chua kembali duduk di Gurindam Jiwa bersama 2 caleg PPIB lain dari Dapil Bintan/Lingga. Sedang untuk DPRD Kota, PPIB setidaknya menempatkan 2 calegnya yaitu Beni, SH. (Dapil I) dan Reni (Dapil III).
Sementara untuk tingkat DPR, suara terbesar diraih Partai Demokrat dengan 13.529 suara. Ini merupakan sinyal positif buat kubu SBY menjelang pilpres mendatang. Disebut-sebut keberhasilan SBY menciptakan situasi politik keamanan nasional yang kondusif menjadi poin pertimbangan publik Tanjungpinang. Khusus DPD, dapat ditebak suara terbanyak diraih first lady-nya Kepri, Aida Nasution Ismeth dengan 14.736 suara.
Meski begitu Aida “Zulaika” Ismeth sempat diterpa isu kecurangan oleh aktivis KAMPAK (Koalisi Mahasiswa Pemuda Pemudi Anti Korupsi) yang menuduhnya bersama caleg DPD lain bernama Atrice Ellen “Syaron” Manambe melakukan pergantian inisial nama abjad dalam DCT pileg.
Kiprah partai nasionalis di ranah Gurindam sejatinya telah berlangsung pada Pemilu tahun 1955. Ketika itu partai Masyumi yang beraliran kanan harus bersaing ketat dengan PNI yang nasionalis dan PKI yang komunis. Memasuki dekade 1970 - 1990 , dominasi partai Islam digantikan oleh Golkar yang notabene kendaraan politik rezim Orde Baru. Memasuki masa Reformasi, giliran PDIP yang merajai percaturan politik Tanjungpinang hingga kini.
Yang jelas, kemenangan partai aliran nasionalis di Tanjunngpinang sangat dipengaruhi karakter sosial masyarakat yang multikultural. Kondisi tersebut kemudian turut menstimulus dinamika politik lokal di tengah kuatnya primordialisme ideologis masyarakat Tanjungpinang . Ini dicerminkan atas masuknya 16 muka baru di jajaran DPRD Kota Tanjungpinang yang berjumlah total 24 kursi. Adapun anggota dewan kota periode 2004 – 2009 yang mampu bertahan diantaranya Asep Nana Suryana dan Sukandar dari PDIP serta M. Arif (PKS). Demikian pula dengan anggota DPRD Kepri yang separuhnya bakal diisi wajah-wajah baru. Beberapa anggota dewan propinsi periode 2004 -2009 dari Dapil I/Tanjunngpinang yang mampu bertahan seperti Lis Darmansyah (PDIP), Surya Makmur Nasution (Demokrat) dan Syahniar Usman (Golkar).
Langganan:
Postingan (Atom)