Election’s Brief : Kota Tanjungpinang
Secara umum Pemilu Legislatif (pileg) di Kota Tanjungpinang yang diikuti 38 parpol berjalan kondusif. Untuk mengamankan pesta demokrasi tersebut, Polresta Tanjungpinang mengerahkan ¾ kekuatan dari total 438 personil. Belum termasuk BKO Brimob Kepri dan perbantuan 30 personil TNI.
Walau begitu Panwaslu Tanjungpinang mencatat lusinan pelanggaran terjadi sepanjang Januari – awal Maret 2009. Kebanyakan berupa kampanye terselubung. Seperti yang dilakukan caleg DPRD Kepri dari Partai Demokrat, Yulius Baka, yang sudah menjalani peradilan akhir Maret lalu. Memasuki masa kampanye terjadi 16 pelanggaran, kebanyakan perlibatan anak di bawah umur. Sedang saat pencontrengan terjadi lagi 6 kasus pelanggaran meliputi 3 kasus administrasi dan 3 kasus pidana. Untuk pelanggaran administrasi diantaranya bilik suara terlalu berdekatan, kertas suara yang telah ditandai serta tidak terdaftarnya penduduk asli dalam DPT. Sedang untuk kasus pidana antara lain pelarangan pemilih yang telah masuk DPT masuk TPS, kampanye terselubung caleg waktu pencontrengan serta penyalahgunaan undangan pemilih.
Namun menurut Ketua Pokja Pelanggaran Panwaslu Tanjungpinang, Muslim, tidak semua pelanggaran dapat dilaporkan kepada Gakumdu (Penegakan Hukum Terpadu) karena kurangnya barang bukti. Apalagi jarang saksi anggota masyarakat mau melaporkan kepada Panwaslu. Salah satu yang mencolok adalah penyalahgunaan undangan pemilih oleh seorang ketua RT di Kelurahan Sei Jang yang merangkap caleg DPRD Kota dari Partai Pelopor. Sebelumnya Ketua KPU Kepri, Den Yealta, pernah menuding aparat RT/RW tak lain kepanjangan tangan politisi lokal yang kini menduduki jabatan pemerintahan daerah. Oleh karena itu untuk pileg 2009 KPU tidak mengikutsertakan RT/RW dalam validasi DPT.
Hal ini kemudian berimbas pada ketidakakuratan daftar pemilih tetap (DPT). Buktinya sehari menjelang pemilu, Panwaslu Tanjungpinang menemukan sekitar 243 DPT ganda di Kecamatan Bukit Bestari. Diketahui pula banyak anggota masyarakat yang tidak masuk DPT pileg padahal sebelumnya terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Walikota. Belum lagi kasus sebagian kepala keluarga DPT terpaksa mencontreng di TPS berbeda. Dikarenakan perubahan sistem pencatatan DPT dari referensi Kartu Keluarga (KK) menjadi berdasarkan abjad nama pemilih.
Carut-marut registrasi pemilih turut mempengaruhi jumlah golput di Tanjungpinang. Dari sekitar 133.250 DPT hanya 81.573 orang saja atau 61,28 persen yang menggunakan hak pilihnya. Di sisi lain aroma golput sudah tercium lama dalam polling yang dilakukan LSM Kepri Research Centre (KRC) sepanjanng Januari – Maret silam. Dari 35.000 responden, sekitar 77 persen tidak tahu waktu penyelenggaraan Pemilu. Sementara 68 persen responden malah mengaku ragu-ragu untuk mencontreng. Alasan para responden mulai dari kebingungan memilih sekian banyak parpol dan caleg sampai kurangnya sosialisasi dari pemerintah maupun KPU tentang cara mencontreng.
Sebaliknya Ketua Pokja DPT KPUD Tanjungpinang, Zulkifli Riawan, menuding pihak parpol dan caleg turut bertanggung jawab atas kisruh DPT dan golput. Pasalnya parpol terlihat lamban melakukan penentuan Daftar Calon Tetap (DCT) di tengah KPU giat melakukan sosialisasi pemilu sekaligus memproses DPT. Keterlambatan waktu pengusungan figur caleg oleh parpol menyebabkan masyarakat enggan mendaftarkan diri dalam DPT. Bak bom waktu, rush registrasi DPT pun merebak saat penetapan DCT. Padahal pendataan DPT telah lama ditutup.
Minimnya sosialisasi mekanisme Pemilu juga dirasakan jajaran panitia perhitungan suara di tingkat kelurahan maupun kecamatan. Akibatnya ada sebagian petugas KPPS salah memasukan suara caleg hingga lupa memasukan lembar formulir teli C2 ataupun lembar berita acara perhitungan suara ke dalam kotak suara. Inilah yang memancing kisruh rekapitulasi di tingkat kecamatan antara PPK dengan saksi parpol. Situasi diperparah oleh ketidakmengertian petugas PPK dalam melakukan prosedur rekapitulasi. Apalagi rekap masih menghitung kembali suara tiap TPS di tiap kelurahan. Ujung-ujungnya perhitungan suara molor dari jadwal semula.
Sejumlah kasus sengketa suara di PPK Tanjungpinang terjadi di Kecamatan Tanjungpinang Timur dan Bukit Bestari. Polemik di Tanjungpinang Timur mencuat ketika memasuki rekap DPRD Kota untuk Kelurahan Melayu Kota Piring, dengan tidak ditemukannya formulir C2 maupun surat suara dari kotak TPS 156. Hal serupa juga terjadi di Bukit Bestari dimana saat rekap Kelurahan Sei Jang diketahui berita acara rekapitulasi DPRD Kota dari TPS 245 mendadak raib. Disusul kasus tertukarnya isi kotak suara DPRD Kota antara TPS 287 dan 301. Tak kurang Ketua KPU Tanjungpinang, Hamid Ali, menuding adanya upaya penyabotan rekap dengan modus menyembunyikan berita acara rekap TPS 245.
Hamid Ali sendiri tidak mengelak isu sengketa rekap suara tingkat DPRD terkait peningkatan eskalasi politik daerah menjelang pilkada tahun depan. Hal serupa juga diutarakan oleh anggota Panwaslu Kepri, Fajri Nasution, yang mencermati sengketa rekap justru kerap terjadi di tingkat DPRD Propinsi maupun Kota/Kabupaten. Tapi Hamid maupun Fajri sepakat kesalahan perhitungan tak lepas dari faktor human error petugas PPS dan PPK.
Lebih lanjut Fajri mensinyalir adanya upaya teroganisir untuk menggelembungkan suara caleg tertentu hingga selisih 100 suara lebih di sejumlah PPK di Kepri. Termasuk melalui ‘serangan malam.’ Dimana saat para saksi parpol jenuh menunggu rekap menjelang larut malam, beberapa oknum sengaja mengedarkan kopian rekap tanpa stempel PPK dan tandatangan saksi parpol. Diibaratkannya aksi kecurangan tadi semacam kentut : mudah tercium tapi sulit dibuktikan.
Tingginya vested interest individu caleg –bukan parpol- terlihat kental saat rekapitulasi tingkat KPU kota Tanjungpinang. Sepanjang tiga hari rekap kerap dihujani interupsi caleg soal validitas suara yang bersumber dari PPK. Adalah mantan anggota DPRD Kota Tanjungpinang periode 1999 – 2004 dari PDIP bernama Andi Cori F. yang menjadi provokator para caleg mempertanyakan nasib suara mereka kepada KPUD. Selain marak interupsi, rapat rekapitulasi tingkat kota Tanjungpinang juga ‘diawasi’ ketat oleh pihak Polresta Tanjungpinang. Kerap personil Brimob/Samapta bersenjata SS-1 bersiaga di dalam ruangan saat rapat berlangsung. Termasuk Kapolresta Tanjungpinang AKBP Yusri Yunus yang rajin menunggui proses rapat hingga larut malam.
Klimaks protes para caleg Tanjungpinang pecah saat KPUD penyelesaian rekap Tanjungpinang Timur. Dimana caleg dari PPRN dan Gerindra mempertanyakan nasib suara mereka yang hilang masing-masing di TPS 10 Kelurahan Tanjungpinang Timur, TPS 17 Melayu Kota Piring, TPS 22 Kampung Bulang dan TPS 9 Kelurahan Pinang Kencana. Tak puas langkah pembuktian KPU lewat teli, beberapa caleg diantaranya Gatot Indraguna dari Gerindra, Ashadi Selayar (Golkar), Devi Yanti Nur (Partai Merdeka) dan John Kennedy (PPRN) mendeklarasikan kaukus politik tolak hasil pemilu. Mereka pun mencoba menggalang simpati sejumlah caleg DPRD Propinsi dari 20 parpol antara lain Partai Barnas, Hanura, PDIP, PNBK Indonesia, PPIB, PKB, PPD, PPI, PMB, PNI, PKPI, PAN, Partai Sertikat Indonesia, PPRN, PDK, Partai Patriot serta Partai Demokrat.
Pada tanggal 22 – 23 April 2009, perwakilan kaukus secara resmi menyerahkan keberatan atas hasil perhitungan pemilu kepada KPUD Tanjungpinang dan KPUD Kepri. Dilanjutkan tanggal 29 April 2009 dengan menggelar unjuk rasa yang melibatkan 200 simpatisan ke kantor Panwaslu dan KPU Tanjungpinang. Disini tidak lagi mengusung nama kaukus melainkan Koalisi Politik Pembela Kebenaran dan Keadilan (KP2KK). Seorang pendemo yang juga caleg PPRN bernama Surip mengaku KP2KK memiliki kaitan dengan Koalisi Kebenaran dan Keadilan di Batam. Walau begitu terakhir KP2KK hanya didukung 17 partai. Sedang partai lainnya seperti PDK dan Demokrat yang sebelumnya mendukung koalisi kemudian beralih mendukung hasil perhitungan pemilu serta menyatakan institusi parpol tidak terlibat dalam KP2KK.
Cukup dipahami keresahan para caleg tersebut. Pasalnya untuk kampanye saja mereka harus merogoh kocek pribadi lumayan besar. Semisal Surip yang mengaku harus merogoh dana pribadi minimal Rp50 juta buat kampanye sebagai caleg nomor 2 dari PPRN untuk DPRD Kota. Bandingkan dengan caleg DPRD Kepri asal Batam, Titin Nurbaini alias Jeng Ayu yang mengaku mengeluarkan dana Rp1,4 miliar di luar jatah tim sukses sebesar Rp200 juta. Lain lagi kasus yang terjadi di Bintan, dimana banyak caleg berhutang kepada sejumlah percetakan atribut pemilu sebesar Rp5 – 20 juta.
Itu baru cost perkenalan. Selanjutnya saat pemilu para caleg harus bersaing ketat meraih satu suara pemilih. Persaingan pun berlangsung antar sesama caleg dalam satu parpol yang kerap berujung perebutan konstituen. Seorang tim sukses caleg di Bintan membeberkan walau sudah mengeluarkan dana kampanye ratusan juta rupiah, sang caleg hanya mendapat suara tak lebih dari puluhan batang teli. Jika memilih jalan pintas, seorang caleg dapat ‘membeli’ suara seharga sebesar Rp50 – 100 ribu per suara. Namun bila memilih bermain bersih –seperti pengakuan Andi Cori- satu suara konstituen harus digalang minimal 6 bulan.
Di luar kontroversi rekapitulasi suara pemilu Tanjungpinang, PDIP kembali mendominasi dengan memperoleh suara terbanyak untuk DPRD Kepri yakni 13.616 suara. Sedang untuk DPRD Kota, PDIP sanggup menangguk 4 kursi dari total 24 kursi. Kemenangan itu seakan menunjukan Tanjungpinang sebagai kantung basis Sang Moncong Putih di tengah dominasi Golkar seantero Kepri. Apalagi dengan adanya dukungan kuat dari etnis Tionghoa setempat yang menganggap PDIP cukup mengakomodir aspirasi politik mereka.
Kemapanan politik etnis Tionghoa di Tanjungpinang terlihat dari keberhasilan PPIB mengantarkan caleg Rudi Chua kembali duduk di Gurindam Jiwa bersama 2 caleg PPIB lain dari Dapil Bintan/Lingga. Sedang untuk DPRD Kota, PPIB setidaknya menempatkan 2 calegnya yaitu Beni, SH. (Dapil I) dan Reni (Dapil III).
Sementara untuk tingkat DPR, suara terbesar diraih Partai Demokrat dengan 13.529 suara. Ini merupakan sinyal positif buat kubu SBY menjelang pilpres mendatang. Disebut-sebut keberhasilan SBY menciptakan situasi politik keamanan nasional yang kondusif menjadi poin pertimbangan publik Tanjungpinang. Khusus DPD, dapat ditebak suara terbanyak diraih first lady-nya Kepri, Aida Nasution Ismeth dengan 14.736 suara.
Meski begitu Aida “Zulaika” Ismeth sempat diterpa isu kecurangan oleh aktivis KAMPAK (Koalisi Mahasiswa Pemuda Pemudi Anti Korupsi) yang menuduhnya bersama caleg DPD lain bernama Atrice Ellen “Syaron” Manambe melakukan pergantian inisial nama abjad dalam DCT pileg.
Kiprah partai nasionalis di ranah Gurindam sejatinya telah berlangsung pada Pemilu tahun 1955. Ketika itu partai Masyumi yang beraliran kanan harus bersaing ketat dengan PNI yang nasionalis dan PKI yang komunis. Memasuki dekade 1970 - 1990 , dominasi partai Islam digantikan oleh Golkar yang notabene kendaraan politik rezim Orde Baru. Memasuki masa Reformasi, giliran PDIP yang merajai percaturan politik Tanjungpinang hingga kini.
Yang jelas, kemenangan partai aliran nasionalis di Tanjunngpinang sangat dipengaruhi karakter sosial masyarakat yang multikultural. Kondisi tersebut kemudian turut menstimulus dinamika politik lokal di tengah kuatnya primordialisme ideologis masyarakat Tanjungpinang . Ini dicerminkan atas masuknya 16 muka baru di jajaran DPRD Kota Tanjungpinang yang berjumlah total 24 kursi. Adapun anggota dewan kota periode 2004 – 2009 yang mampu bertahan diantaranya Asep Nana Suryana dan Sukandar dari PDIP serta M. Arif (PKS). Demikian pula dengan anggota DPRD Kepri yang separuhnya bakal diisi wajah-wajah baru. Beberapa anggota dewan propinsi periode 2004 -2009 dari Dapil I/Tanjunngpinang yang mampu bertahan seperti Lis Darmansyah (PDIP), Surya Makmur Nasution (Demokrat) dan Syahniar Usman (Golkar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar