Oleh : R. Valentina Sagala, SE., SH., MH.*)
Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia telah memiliki sejumlah peraturan perundangan yang melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seperti UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO).
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, kebijakan dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan mengalami kemajuan. Namun masih terdapat berbagai kendala dalam implementasi peraturan perundangan, mulai dari pencegahan yang belum strategis, belum kuatnya sistem pendataan dan pemantauan kasus, belum terpenuhinya keadilan bagi korban, minimnya layanan pemulihan, dan minimnya perlindungan saksi bagi korban. Implementasi UU tersebut yang semestinya bersandar pada hak-hak korban, masih dipertanyakan.
Terhambatnya keadilan bagi korban masih menjadi catatan dalam implementasi perundangan. Catatan RPK.UUP sejak tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 50% dari total kasus yang dilaporkan dicabut kembali oleh korban sehingga proses hukum tidak dapat diteruskan (Komnas Perempuan, 2008). Pencabutan laporan ini diakibatkan perempuan korban masih merasa malu, bersalah atas kekerasan yang menimpa dirinya dan khawatir dipersalahkan oleh keluarga dan masyarakat di sekelilingnya.
Terhambatnya akses kepada keadilan juga terjadi pada kasus-kasus yang menimpa anak perempuan. Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh praktek perkawinan anak (early child marriage) yang menimpa Lutfiana Ulfa, anak perempuan berusia 12 tahun, yang dinikahi secara sirri oleh Pujiono, pengusaha sekaligus kyai dari Semarang. Penegakan hukum kasus ini tidak berjalan semestinya. Dalih ajaran dan tradisi agama (Islam) didukung oleh kesimpangsiuran memandang UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan semakin menghambat akses kepada keadilan dan pemulihan terhadap korban anak.
Dalam hal perlindungan saksi dan korban, perempuan korban kekerasan terhadap perempuan rentan mengalami aksi pembalasan dari pelaku. Di tengah persidangan kasus pembagian harta gono-gini di Pengadilan Agama Sidoarjo, Eka Suhartini ditikam mati oleh mantan suaminya, Kol. TNI AL Irfan Djumrono. Pelaku juga membunuh hakim yang sedang memimpin sidang, Achmad Taufik. Peristiwa ini mencerminkan perempuan korban kekerasan belum dapat mengakses perlindungan saksi dan korban.
Oleh karena ini, dalam momen Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, sangat penting untuk mendorong komitmen negara dalam menegakkan hak asasi perempuan, khususnya hak atas layanan pemulihan dan akses kepada keadilan bagi perempuan korban kekerasan. Untuk itu, kami, INSTITUT PEREMPUAN menuntut aaparat penegak hukum untuk mengimplementasikan UU PKDRT, UU PTPPO, UU Perlindungan Saksi dan Korban sebagai bagian dari penegakan hukum. Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menyediakan layanan pemulihan kepada perempuan dan anak korban kekerasan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk menyediakan perlindungan saksi dan korban bagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mengalokasikan anggaran dalam penyediaan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. *)Penulis adalah Chairperson of Executive Board INSTITUT PEREMPUAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar