Jakarta - Kapal Greenpeace Esperanza pagi ini tiba di Manokwari, Papua Barat dengan membawa bukti-bukti meningkatnya ancaman terhadap hutan Papua akibat perluasan perkebunan kelapa sawit dan pembalakan. Greenpeace mengumumkan temuan tentang kegiatan deforestasi, dimana sebagian diantaranya ilegal, pada bagian pertama pelayaran “Hutan untuk Iklim” yang dimulai minggu lalu.
“Saat penerbangan dengan helikopter kami seminggu belakangan ini, kami menyaksikan indahnya benteng terakhir hutan alam asli Indonesia tetapi saat yang sama melihat langsung peningkatan kegiatan penggundulan hutan,” kata Bustar Maitar, Juru Kampanye Hutan, Greenpeace Asia Tenggara.
Bukti-bukti yang dikumpulkan dalam perjalanan ini termasuk pembukaan hutan sagu dan nipah di Selatan Jayapura untuk perkebunan kelapa sawit Sinar Mas dan juga berlanjutnya kegiatan pembalakan ilegal di wilayah konsesi PT Kaltim Hutama and PT Centricodi daerah Kaimana, Papua Barat yang sebenarnya ijinnya sudah dibekukan.
“Hutan Papua sedang mengalami tekanan yang luar biasa akibatperluasan kelapa sawit, operasi pembalakan dan faktor pendorong kerusakan hutan lainnya. Kita semua harus bersikap untuk menjaga hutan Indonesia serta iklim global dengan mendorong Pemerintah Indonesia mendeklarasikan penghentian sementara (moratorium) deforestasi sekarang,” kata Bustar.
Bersamaan dengan kedatangan Ezperanza di Manokwari, Greenpeace mengajak khalayak luas berpartisipasi untuk menandatangi petisi dalam melindungi kekayaan alam dan masa depan mereka. Petisi ini mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mendeklarasikan moratorium, sebagai upaya memberikan waktu yang diperlukan guna menyusun rencana perlindungan yang dibutuhkan demi masa depan hutan ini. (1) Lebih dari 30,000 orang Indonesia telah menandatangani petisi ini.
Greenpeace memulai bagian Indonesia dari pelayaran “Hutan untuk Iklim” di Jayapura pada tanggal 6 Oktober, untuk menyoroti maraknya pengrusakan benteng terakhir hutan di Asia Tenggara.
“Upaya melindungi hutan alam terakhir Indonesia untuk memerangi perubahan iklim, menghentikan penyusutan keanekaragaman hayati dan melindungi penghidupan masyarakat yang bergantung pada hutan merupakan hal yang sangat penting. Ini artinya harus segera diberlakukan moratorium deforestasi dan menggalang pendanaan internasional melalui PBB untuk melindungi hutan demi nilai karbonnya,” kata Bustar.
Deforestasi melepas sekitar 20% emisi gas-gas rumah kaca (GRK) dunia, merupakan penyumbang fenomena perubahan iklim yang berbahaya. Indonesia saat ini merupakan kontributor GRK terbesar ketiga di dunia, yang sebagian besar berasal dari deforestasi. Tetapi kenyataannya, pemerintah dan industri yang seharusnya bisa menyelamatkan hutan Indonesia dan iklim dunia, terus menebanginya dan memperburuk krisis iklim.
Penghentian sementara penebangan tidak hanya dapat menolong memperlambat emisi GRK nasional, tapi juga akan menjaga kekayaan keanekaragaman hayati tropis dan melindungi sumber sumber kehidupan masyarakan yang bergantung pada hutan di seluruh Indonesia.
Kapal Esperanza akan meninggalkan Manokwari pada hari Minggu menuju Jakarta dan akan berada di Indonesia hingga tanggal 15 November. Greenpeace menyerukan pemberlakuan sesegera mungkin moratorium terhadap semua bentuk konversi hutan di Indonesia, termasuk perluasan perkebunan kelapa sawit, industri penebangan kayu dan factor pendorong deforestasi lainnya.(Gahar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar