Palangka Raya (1/9), Anang Juhaidi, ST (Database dan Compaigner/Walhi), dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa kondisi hutan di Kalteng adalah hutan hujan tropis dengan tajuk pepohonan yang rapat dan tegakan pohonnya padat dengan suhu yang rendah, hal tersebut yang membuat kelembabannya menjadi tinggi, seharusnya tidak akan menjadi mudah terbakar, namun karena rusaknya hutan (degradasi dan deforestasi) akibat destruktif logging menjadikan kualitas ekologinya menurun dan mudah terbakar. Kawasan gambut yang fungsi utamanya adalah penyerap dan pengatur fungsi tata air, rusak akibat aktivitas pembangunan ekonomi dan konversi untuk kebun sawit dan hutan tanaman industri mengakibatkan kawasan gambut mengering dan mudah terbakar tanpa di sulut oleh api sekalipun dan ini merupakan faktor dari penyebab kebakaran yang terjadi pada hutan gambut. Kebakaran hutan di Prov. Kalteng mempunyai beberapa penyebab yang hingga kini masih dilakukan yaitu Pembukaan pertanian yang masih menggunakan metode membakar karena dianggap efisien dan memacu kesuburan tanah untuk pertanian dan aktivitas pembukaan perkebunan monokultur seperti sawit dan HTI yang masih mengguanakan metode membakar secara sistematis dan sembunyi-sembunyi.
Proses terbakarannya hutan terjadi karena adanya sumber panas (api), adanya bahan yang terbakar, adanya oksigen. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu upaya untuk mencegah maupun mengurangi api dari luar masuk kedalam kawasan hutan atau lahan, serta membatasi penyebaran api apabila terjadi kebakaran. Konsep sederhana untuk mencegah terjadinya proses pembakaran yaitu dengan menghilangkan salah satu komponen penyebab kebakaran api, material, oksigen. Upaya yang akan dilakukan untuk Pencegahan kebakaran hutan, antara lain :
1. Melalui sistem peringatan dini, yaitu sistem peringatan kebakaran berdasarkan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi mudah terbakarnya vegetasi dan biomassa, tingkat penyebaran, kesulitan pengendalian, dampak kebakaran dan faktor klimatologis. Dari sistem ini dapat dikembangkan sistem peringkat bahaya kebakaran (Fire Danger Rating System).
2. Peningkatan partisipasi masyarakat, yaitu Mendorong peran aktif masyarakat lokal dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
3. Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat terhadap bahaya kebakaran dan upaya penegakkan hukum, misalnya melalui dialog langsung (pertemuan antara kampung/ desa) maupun melalui media penyuluhan seperti buku cerita bergambar, poster, brosur, spanduk/baliho.
Peningkatan kemampuan masyarakat melalui pelatihan dan bimbingan (building capacities), dengan membentukan tim pemadam kebakaran (fire brigade) di tingkat masyarakat yang dimaksudkan untuk membantu menanggulangi kebakaran hutan dan lahan sejak dini di wilayahnya masing-masing yang beranggotakan dari masyarakat dengan kepala desa sebagai penanggung jawab, sementara pemerintah maupun Dinas terkait serta LSM bertindak sebagai pengarah dan pembimbing. Serta mengadakan pertemuan rutin dan kegiatan bersama antar Tim pemadam kebakaran di masing-masing wilayah, agar masyarakat merasakan keberadaan dam manfaat dari pembentukan Tim pemadam kebakaran tersebut. Selama ini nilai kerugian yang dihitung hanyalah kerugian yang secara langsung berdampak kepada putaran ekonomi lokal dan nasional. Sementara kerugian tidak langsung (multiplayer effect) dan kerugian akibat rusaknya fungsi ekologi tak pernah dihitung sama sekali atau jarang sekali dikonversi menjadi nilai rupiah. Dengan adanya perubahan kondisi biofisik yang berdampak pada terjadinya perubahan sumberdaya hutan dan fungsi ekologis maka akan mengakibatkan timbulnya dampak ekonomi secara langsung atau tidak langsung yang dirasakan atau ditanggung oleh masyarakat sehingga mempengaruhi kehidupan atau kesejahteraan masyarakat. Dampak kebakaran hutan dari segi ekonomi antara lain :
1. Terjadinya kerugian akibat menurunnya produksi.
2. Terjadinya kerugian (opportunity cost) akibat penurunan umur pakai lahan.
3. Terjadinya kerugian kerusakan aset ekonomi / pembangunan / pertanian akibat genangan/banjir.
4. Terjadinya kerugian akibat gangguan kesehatan dan penurunan layanan transportasi khususnya transportasi udara.
5. Terjadinya kerugian karena berkurang atau hilangnya hasil buruan satwa berharga/konsumsi masyarakat.
6. Terjadinya kerugian akibat menurunnya produksi perikanan.
7. Hilangnya hasil hutan, (Non kayu dan kayu), kehilangan hari kerja, kehilangan fungsi ekologi kawasan, kerugian sektor pariwisata dan penerbangan.
Dampak kebakaran hutan dari segi sosial dan budaya, antara lain :
a. Di sektor pendidikan aktivitas sekolah diliburkan mengakibatkan hilangnya kesempatan belajar dan tergangunya proses belajar mengajar bagi anak usia sekolah.
b. Di sektor transportasi Menggangu penerbangan udara, laut dan darat karena jarak pandang yang aman tertutup akibat kabut asap.
Dampak kebakaran hutan dari segi kesehatan, antara lain :
a. Penurunan kualitas tubuh karena hilangnya fungsi lendir pada tubuh bahkan mengakibatkan kematian.
b. Menurunkan kadar oksigen di udara dan mengakibat kan suplay oksigen ke pembuluh darah menurun.
c. Menurunkan kesahatan orang lanjut usia, ibu hamil, anak balita .
d. Berpotensi menimbulkan penyakit seperti radang hidung, emfifema, asma dan muntah-muntah bahkan bisa menimbulkan penyakit paru ostruksi kronis (PPOK) dan kanker paru.
e. Yang paling sering terjadi adalah meningkatnya penyakit ISPA di wilayah-wilayah yang terbakar akibat kabut asap. Penderita ISPA di Propinsi Kalteng sepanjang tahun 2009 (Hingga Juli 2009) mencapai 132.680 Orang.
Sedangkan dampak kebakaran hutan terhadap hubungan diplomatis antara negara adalah sebagai contoh kebakaran pada tahun 1997, menghasilkan emisi dari 4,5 juta hektar vegetasi yang terbakar di Kalimantan Tengah dan Sumatera, kabut asap kemudian menyebar ke negara-negara tetangga dimana luasan asap menutupi kawasan seluas lebih dari 3 juta km mencapai Filipina, Thailand dan Australia, mempengaruhi lebih dari 300 juta orang. Akibatnya adalah hubungan antara negara menjadi terganggu dengan munculnya protes keras dari Malaysia dan Singapura kepada Indonesia agar bisa secepatnya melokalisir kebakaran hutan agar asap yang ditimbulkannya tidak semakin tebal.
Data kerusakan kawasan rawa gambut di Kalimantan tengah, antara lain :
a. Indonesia memiliki 22,5 juta hektar lahan gambut, setara 12% total luas daratannya, dan merupakan 83% total luas lahan gambut di Asia Tenggara, serta merupakan 60% dari total lahan gambut dunia. Dan di kalimanatan tengah terdapat kawasan gambut seluas 3. 010, 540 Ha.
b. Lahan gambut di Asia Tenggara menyimpan sekitar 42 milyar ton karbon, dimana sebagian besarnya terdapat di Indonesia. Di kalimantan tengah terdapat 631.205 G .dan sekitar sepuluh juta hektar hutan di lahan gambut di Indonesia mengalami pengrusakan serius.
c. Saat ini lebih dari 25% kawasan perkebunan kelapa sawit (2,8 juta hektar) dan hutan tanaman (2 juta hektar) terdapat di lahan gambut. Di kalimantan tengah 14 % kawasan gambutnya sudah beralih menjadi perkebunan sawit.
d. Diperkirakan 12% ekosistem lahan gambut Indonesia berada di bawah hak pengusahaan hutan. Belum terhitung kawasan pertanian skala besar, baik yang dimiliki negara maupun koperasi yang banyak bersal dari luar negeri.
e. Di kalimantan tengah konversi lahan gambut untuk usaha pertanian mengakibatkan hancurnya 1 juta ha lahan gambut (mega proyek 1 juta hektar lahan gambut). Kawasan ini merupakan kawasan yang sering terbakar dan penyumbang titik api terbanyak.
Upaya yang harus dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan ialah dengan beberapa cara, antara lain :
1. Awal Februari 2010, WALHI Kalteng pernah melakukan riset terkait pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) termasuk juga upaya masyarakat dalam menanggulangi bahaya kebakaran berdasarkan kearifal lokal setempat yang telah diturunkan dari generasi terdahulu. Hal ini terkait pula dengan kebiasaan masyarakat dalam mengelola lahan dengan cara membakar sehingga mereka pun punya cara tersendiri dalam mencegah terjadinya kebakaran yang mungkin terjadi.
2. Pada sekeliling kebun masyarakat dibuat batas selebar 2 meter yang harus bersih dari semak, ranting dan bahan yang mudah terbakar. Batas ini dimaksudkan apabila api yang berada di luar kebun tidak mampu menjalar/merembet ke tanaman di dalam kebun. Metode ini digunakan warga apabila di sekitar kawasan telah terjadi kebakaran dan dikhawatirkan akan menjalar ke kebun/lahan milik warga.
3. Beje merupakan sebuah kolam yang dibuat oleh masyarakat (umumnya suku dayak) di pedalaman hutan/ lahan rawa gambut yang berfungsi untuk menangkap (memerangkap). Beje dibuat pada musim kemarau dengan lebar 2 meter, kedalaman 1,5 meter dengan panjang yang bervariasi dan biasanya dikerjakan secara bersama-sama. Pada musim hujan,terjadi banjir dan beje-beje ini akan tergenang/tertutup oleh luapan air dari sungai sekitarnya dan terisi oleh ikan maupun anak ikan. Sedangkan pada musim kemarau,air akan surut namun beje ini akan tetap tergenang dan berisi ikan. Sehingga pada musim kemarau, selain beje ini berfungsi sebagai sekat bakar yang dapat mencegah merambatnya api ke lahan gambut sekitarnya juga berfungsi sebagai cadangan air untuk pelaksanaan pemadaman kebakaran yang terjadi di sekitar kawasan.
4. Memenfaatkan parit/kanal, Fungsi utama parit di hutan rawa gambut ialah sebagai sarana transportasi untuk mengeluarkan kayu dari dalam hutan dan sebagai pengatur keseimbangan muka air tanah sehingga lahan rawa gambut yang umumnya tergenang dapat dikendalikan ketinggian airnya untuk usaha perkebunan dan pertanian. Namun jika parit/kanal ini tidak direncanakan dengan sistem dan teknik pengaturan air yang memadai, maka air gambut secara berlebihan akan terbuang ke sungai dan akhirnya lahan gambut menjadi kering dan mudah terbakar. Hal ini dapat terlihat pada lokasi kanal di sekitar kawasan eks PLG. Pembukaan kawasan gambut dalam proyek PLG dan pembangunan kanal–kanal saluran primer induk dua (SPI-2) dan saluran primer utama tujuh (SPU-7) di bekas PLG Mentangai telah menyebabkan pengerusan air (drainage) sebanyak 3,36 milyar meter kubik. Hal ini menyebabkan terjadinya pengeringan dan kebakaran gambut di sekitarnya.
5. Melalui sistim penyekatan pada parit, ditujukan untuk memperbaiki kondisi hidrologi di lahan gambut. Dengan cara ini diharapkan aliran air ke sungai terkontrol sehingga dapat menaikkan muka air tanah kembali terutama disaat musim kemarau. Naiknya muka air tanah di lahan gambut akan menyebabkan tanah gambut tetap lembab, sehingga juga mempercepat proses suksesi alami dan mendukung kegiatan rehabilitasi lahan gambut. Dengan demikian kondisi kerawanan ancaman kebakaran akan menurun.
6. Menanam tumbuhan dengan kadar air tinggi, sebagai sekat vegetasi bila terjadi kebakaran. Tanaman yang umumnya digunakan warga lokal yaitu pohon pisang maupun nanas dan di tanam disekeliling kebun yang berfungsi sebagai penyekat yang tidak mudah terbakar apabila terjadi kebakaran lahan. Sekat ini berfungsi untuk mencegah menjalarnya api ke area yang lebih luas. Suatu pemahaman sederhana dalam upaya pencegahan kebakaran dan penyebaran api ke area yang lebih luas lagi. Selain bernilai ekonomis, tanaman yang difungsikan sebagai sekat bakar ini juga berguna dalam menjaga dan meminimalisir ancaman kebakaran lahan perkebunan warga setempat.
7. Melakukan pengepungan api dengan api untuk menimbulkan tekanan udara tinggi, sehingga tidak terjadinya pergerakan udara disekitar sumber api, karena suatu cara penanganan kebakaran secara ilmiah ialah, Apabila terjadi kebakaran di suatu lahan maka warga mengantisifasinya dengan membakar sebagian lahan yang diperkirakan menjadi arah pergerakan api, Secara ilmiah prinsip kerjanya api dipengaruhi oleh faktor pergerakan angin, pergerakan angin tercipta dari adanya perbedaan tekanan udara dan tekanan udara dipengaruhi oleh perbedaan suhu dan kelembaban. Angin/udara bergerak dari tekanan udara tinggi(panas) menuju tekanan udara rendah (dingin).
8. Membentuk badan penanggulangan bencana di setiap provinsi dan kabupaten untuk mendeteksi awal datangnya bencana dan menangulangi secara sistematis kebakaran hutan dan lahan secara partisipatif.
9. Mengeluarkan peraturan perundangan yang melarang dengan tegas dan memuat sanksi baik terhadap perusahaan yang menggunakan metode bakar, maupun yang konsesinya terbakar. Implementasi UUPLH dan menjerat pelaku pembakaran dengan pasal pidana dan perdata dan mencabut seluruh izin usaha bagi perusahaan-perusahaan yang menggunakan metode bakar dalam proses land clearing.
10. Menghentikan pengeluaran izin baru bagi konversi lahan, utamanya pada kawasan yang memiliki tutupan hutan dan kawasan gambut karena akar persoalan terjadinya kebakaran adalah pembukaan kawasan gambut untuk perkebuan yang mengakibatkan fungsi tata air dan rusaknya ekosistem gambut.
Dalam hukum Internasional, pencemaran lintas batas (transboundary haze pollution), seperti kebakaran hutan yang dampaknya sampai ke negara lain dapat dikatagorikan sebagai kejahatan internasional, sehingga bisa terjadi dunia internasional dapat menerapkan embargo atau boikot terhadap hasil hutan Indonesia, apabila Negara Indonesia tidak mampu mengatasi kebakaran hutan. (APP.S/ACH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar