Palangkaraya (17/09), Perkembangan rehabilitasi kawasan eks PLG, antara lain :
1. Pada awalnya CBRR (Community Based Rehabilitation and Revitalization) atau Uji Coba Rehabilitasi dan Revitalisasi berbasis Masyarakat adalah inisiatif kerja sama Kalimantan Tengah dan Belanda dalam Rangka Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG), dibeberapa kawasan eks PLG juga dikelola oleh Perusahaan Besar Swasta (PBS), dan kawasan transmigrasi.
2. Kegiatan utama tujuan PPLG antara lain :
a. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah desa yang terfokus pada upaya rehabilitasi dan revitalisasi kawasan PPLG.
b. Pendampingan untuk penyusunan tata ruang desa.
c. Penyediaan bantuan dana untuk pelaksanaan kegiatan berbasis masyarakat.
d. Penyediaan tenaga ahli untuk pencapaian butir 1, 2, dan 3 di atas.
e. Penyusunan pembelajaran bersama.
3. Arie Rompas (Direktur Eksekutif WALHI Provinsi Kalimantan Tengah) mengatakan antara lain:
a. Dalam realisasi proses rehabilitasi kawasan ekologi eks Proyek Lahan Gambut (Eks PLG) sejuta hektar hingga saat ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dan statusnya dalam kondisi krisis. Upaya rehabilitasi yang selama ini dilakukan terancam gagal (batal) karena aturan hukum yang sebagai dasar untuk merehabilitasi kawasan tersebut melalui Imstruksi Presiden (INPRES) Republik Indonesia, Nomor 02 tahun 2007 tidak dilaksanakan secara benar dan tidak sesuai dengan Inpres tersebut, disebabkan antara lain :
1) Terdapat banyaknya kepentingan proyek dan kebijakan sektoral yang masuk dalam kawasan tersebut tidak terkordinasi dan bersifat sektoral seperti kepentingan investasi, kepentingan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan kepentingan Dunia Internasional yang terkait dengan upaya penyelamatan ekosistem gambut terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Bahkan dalam berbagai upaya tersebut tidak melibatkan/mengikutsertakan masyarakat sekitar, bahkan mengabaikan hak-hak masyarakat yang berada di sekitar kawasan. Upaya sektoral tersebut juga tidak didukung oleh kebijakan yang terkordinasi, bahkan kebijakan yang dilakukan tidak sesuai dengan upaya rehabilitasi kawasan tersebut.
2) Pengelolaan kawasan yang tidak sesuai dengan tujuan utama untuk merehabilitasi kawasan tersebut, antara lain sudah diberikan ijin usaha perkebunan dan ijin lokasi kepada 23 perusahan dengan luasan mencapai 935.225 ha, dan sebagian perusahaan sudah melakukan aktivitas tanpa ijin HGU, tanpa ijin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan dan tanpa dokumen AMDAL, padahal dalam Inpres No. 2 tahun 2007 alokasi untuk budidaya perkebunan hanya diberikan ijin sebatas 10.000 ha saja.
3) Pelanggaran yang paling terlihat adalah PT. Globalindo Agung Lestari (PT.GAL) yang melakukan aktivitas tanpa ijin pelepasan kawasan hutan, mengambil alih lahan-lahan transmigrasi yang sudah bersertifikat dan lahan penduduk lokal di Desa Dadahup, Desa Lamunti, dan Desa Mentangai tanpa dilengkapi dokumen AMDAL, hal tersebut melanggar UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang kehutanan, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta UU Transmigrasi. Selain untuk perkebunan kelapa sawit, kawasan Eks PLG telah diterbitkan ijin kuasa petambangan bagi 7 perusahaan yang di keluarkan oleh Bupati Kapuas.
b. Terkait jangka waktu Inpres Nomor 02 Tahun 2007 yang akan berakhir pada Tahun 2011 dan tidak dipatuhinya perundang-undangan terhadap rehablitasi kawasan tersebut, merupakan salah satu upaya yang tersitematis untuk melakukan pelemahan hukum (mall administrasi) yang bertujuan untuk melancarkan investasi perusahaan – perusahaan yang berada dikawasan tersebut.
c. Sehingga hal tersebut menunjukan komitmen pemerintah yang selalu lamban dalam masalah pengurusan lingkungan serta kebijakan yang hanya berorientasi proyek, dan bukan untuk perlindungan terhadap keberlanjutan penghidupan dan kesejahteraan rakyat yang merupakan salah satu faktor terancamnya upaya rehabilitasi. Fakta tersebut merupakan bukti pelanggaran hukum, tetapi diabaikan tanpa adanya upaya tindakan hukum dari pemerintah.
d. Dalam hal tersebut seharusnya Pemerintah bertindak cepat dan menyikapi situasi ini dengan menghentikan dan mencabut izin-izin investasi di kawasan ini, serta memulihkan kawasan ini dengan melibatkan masyarakat lokal yang sebenarnya sudah lama berinisitaif untuk merehabilitasi kawasan tersebut berdasarkan kearifan tradisional untuk keberlanjutan penghidupan mereka. Pemerintah juga harus memiliki komitmen yang besar untuk merehabilitasi kawasan dengan membuat dasar hukum yang lebih tegas dan jelas, serta mengatur semua pihak terkait dalam satu badan kordinasi rehabilitasi kawasan untuk memastikan upaya rehabilitasi berjalan secara berkesinambungan dan melibatkan masyarakat sekitar, serta menjamin hak-hak masyarakat sekitar atas wilayah kelolanya.
4. Ewaldianson .M .Hedek .SE (Dewan Nasional AMAN Provinsi Kalimantan Tengah) mengatakan antara lain :
- Lokasi PT. GAL berada dikawasan lahan gambut, maka berdasarkan Kepres Nomor 32 Tahun 1990 sehingga kawasan tersebut harus dilindungi (dikonservasi). Tetapi selama ini banyak Perusahaan Besar Swasta (PBS) yang melakukan kegiatan aktifitas perusahaan tanpa mematuhi peraturan dan perundang – undangan yang berlaku antara lain PT. GAL.
- Pelanggaran hukum yang telah dilakukan PT. GAL antara lain :
1) PT. GAL tidak memiliki AMDAL dan tidak memiliki Ijin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) dari Menteri Kehutanan, sehingga PT. GAL telah melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup, juga melanggar UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
2) PT. GAL membeli tanah transmigrasi yang bersertifikat untuk dijadikan lahan inti, dengan cara memaksa warga transmigrasi menyerahkan tanah yang bersertifikat untuk dijadikan lahan plasma, bekerja sama dengan beberapa perangkat Desa untuk melakukan penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan surat palsu yang merupakan pelanggaran sesuai dengan KUHP Bab XII, Pasal 263.
3) Menutup saluran PU / P2DR yang ada pada wilayah transmigrasi untuk dijadikan jalan, serta melakukan penanaman sawit pada bahu - bahu jalan transmigrasi, serta telah melakukan penanaman kelapa sawit tanpa memberitahukan kepada pemiliknya. dan ingin melakukan relokasi warga transmigrasi ketempat lain.
- Sehingga berdasarkan Inpres No.2 Tahun 2007 yang ditindaklanjuti dengan Rencana Induk (Master Plan) tentang Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Eks. PLG 1 juta Hektar atas kerjasama Pemerintah Kalimantan Tengah, Pemerintah Indonesia, dengan Pemerintah Belanda Tahun 2008, maka seharusnya Ijin Perkebunan Kelapa Sawit PT.GAL dicabut, serta seharusnya Pemerintah Kabupaten Kapuas tidak melanjutkan kerja Tim Koordinasi Fasilitasi Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan di Wilayah Kabupaten Kapuas dengan Kep. Bupati Kapuas No. 129/ADPUM TAHUN 2010 di Desa Dadahup, Kecamatan Kapuas Murung dengan PT. GAL, karena PT. GAL sudah terbukti melanggar hukum.
- Seharusnya kewajiban Pemerintah untuk menegakan hukum bukan untuk menutupi hukum maupun masalah yang terjadi, karena selama ini Pemerintah Kabupaten Kapuas terindikasi melakukan pembiaran terhadap PBS yang melanggar hukum seperti PT. GAL yang bekerja tanpa mematuhi peraturan dan perundang – undangan yang berlaku.
e. Menghimbau kepada Pemerintah untuk tidak membiarkan pelanggaran yang dilakukan oleh PBS seperti PT.GAL, agar menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan dan peraturan serta per Undang – Undangan yang berlaku, dan bukan hanya masyarakat yang membawa kayu 1 – 2 M kubik untuk keperluan bangunannya sendiri yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas, tetapi seharusnya PBS yang melakukan pengerusakan hutan, merusak lingkungan yang harus ditindaklanjuti secara adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Juga menghimbau kepada masyarakat yang memiliki lahan/tanah agar tidak menjual tanah dengan harga yang murah kepada BPS, karena hal tersebut dapat merugikan lingkungan maupun masa depan masyarakat sekitar. (Dana / Olin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar