Indoberitanusantara, Kendari, sekitar 50 orang aksi unjukrasa di depan eks MTQ dari seluruh BEM Aliansi Mahasiswa Pemerhati Pendidikan, menuntut undang-undang BHP dipimpin oleh Munir (Korlap Fakultas Hukum Unhalu), dalam orasinya, mengatakan “Dari rejim boneka yang satu sampai bergantian dengan rejim boneka lainnya di negeri ini, upaya komersialisasi pendidikan semakin deras. Rejim lebih memilih tunduk pada kesepakatan dengan instrument imperialis dari pada memenuhi kebutuhan rakyat atas pendidikan.(25/6)
Deretan panjang perampokan hak rakyat pada medio abad 20an atas pendidikan dimulai dalam kesepakatan untuk kucuran hutang (Letter of Intent/LOI) dari dana Internasional Monetery Found (IMF) tahun 1999, terdapat kesepakatan bahwa pemerintah harus mencabut subsidi untuk pendidikan dan kesehatan. Hal ini yang membuat masyarakat menanggung biaya pendidikan dan kesehatan terlalu mahal diluar kemampuan mayoritas penduduk Indonesia. Padahal jelas dalam UUD 1945 pasal 31 bahwa pemerintah wajib membiayai pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN/APBD.
Melalui Bank Dunia (World Bank/WB), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana hutang 114,54 dollar AS untuk membiayai program Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati bulan juni 2005 dan berakhir 2011. Dimana program tersebut bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efiensi dan relevan perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Karna Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN, sehingga harus dipaksa subsidinya, pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.
Selain itu sejak tahun 2001 pemerintahan Indonesia telah meratifikasi kesepakatan bersama tentang perdagangan jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) Oraganisasi perdagangan dunia (World Trade Organization/WTO) dimana pendidikan dimasukan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sector pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).
Selanjutnya pemerintah melakukan kerjasama dengan Asian Development Bank (ADB), tentang Hinger Education Project dengan total hutang 102,6 million dollar AS mulai tahun 1993 sampai 2001 bantuan tersebut diberikan untuk enam kampus PTN dan 11 kampus PTS di Indonesia. Misi dari kerjasama tersebut sama persis dengan program World Bank yaitu tentang Efisiensi dan relevansi perguruan tinggi, kebijakan tersebut sesungguhnya mengukuhkan otonomi terhadap kampus.
Demikian juga hutang yang diberikan oleh Islamic development Bank (IDB), kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dengan kampus tetaplah mengedepankan otonomi perguruan tinggi. Kesepakatan IDB ini banyak terjalin dengan kampus islam negeri (UIN), hampir seluruh kampus UIN di Indonesia. Bukti konkrit dari perjanjian ini adalah ditetapkannya kampus sebagai Badan Layanan Umum (BLU), yang kebijakannya ditetapkan oleh pemerintahan SBY-Kalla lewat undang-undang No. 1 tahun 2004 tentang pembendaharaan Negara dan PP No. 23 tentang tata kelola Badan Layanan Umum”.
Dalam menyatakan sikapnya Aliansi Mahasiswa Pemerhati Pendidikan mengatakan “Meminta kepada Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara untuk menyatakan sikap segera mencabut Undang-undang No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang telah menjadi gerbang komersialisasi dunia pendidikan dan yang kedua “Ciptakan ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan”. (komenk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar