Jakarta - Menanggapi penolakan RUU Pornografi yang semakin marak, Bamus DPR telah menetapkan pendalaman lebih lanjut terhadap RUU ini. Namun, sejumlah Fraksi di DPR mendesak pengesahan RUU Pornografi secepatnya dilakukan.
Dalam pandangan Institut Perempuan, RUU Pornografi semestinya tidak disahkan karena bertentangan dengan semangat perlindungan HAM dan UUD 1945. Terdapat setidaknya dua hal yang bertentangan dengan semangat perlindungan HAM yang diamanatkan UUD 1945 yaitu RUU Pornografi yang diskriminatif dan tidak menghormati identitas budaya dan hak masyarakat tradisional.
Pertama, RUU Pornografi diskriminatif dan tidak sejalan dengan Pasal 28I Ayat (2) yang berbunyi “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Substansi RUU Pornografi yang diskriminatif dapat ditemukan pada muatan yang mengkriminalisasi perempuan dan anak dan melanggar hak individu untuk berekspresi, penguasaan tubuh dan seksualitas.
Muatan diskriminasi tercermin dari ketentuan kriminalisasi perempuan dan anak, yaitu pemberlakuan larangan terhadap setiap orang yang “dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi obyek atau model yang mengandung muatan pornografi” (Pasal 8). RUU ini mengabaikan prinsip hak asasi manusia dan perlindungan anak, karena mengabaikan fakta eksploitasi dan komoditisasi dalam pornografi. RUU Pornografi juga berpotensi mengkriminalkan perempuan pekerja seks yang seharusnya di luar lingkup RUU ini. Pasal 4 ayat (2) melarang tindakan seseorang ”menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual”. Seolah, RUU Pornografi mengabaikan fakta bahwa perempuan pekerja seks adalah korban pemiskinan struktural.
Semangat diskriminasi lainnya dapat ditemukan pada ketentuan larangan bagi setiap orang yang mempertontonkan diri di muka umum yang “menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan atau yang menggambarkan pornografi lainnya” (Pasal 10). Pasal ‘pornoaksi’ ini merupakan pelanggaran atas hak individu untuk berekspresi, penguasaan tubuh dan seksualitas.
Kedua, RUU Pornografi tidak menghormati identitas budaya masyarakat dan bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (3) yang berbunyi “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
RUU Pornografi berpotensi besar melakukan penyeragaman budaya masyarakat Indonesia yang pluralis. Menurut RUU ini, pornografi adalah “materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”(Pasal 1).
Definisi ini mensyaratkan pemberlakuan ketentuan pada masyarakat homogen. Ini jelas berlawanan dengan pluralitas masyarakat Indonesia. Disinilah letak pengingkaran terhadap keragaman identitas budaya, termasuk nilai susila masyarakat.
Melihat kondisi ini Institut Perempuan menyerukan DPR dan Pemerintah untuk: Tidak mengesahkan RUU Pornografi sebelum substansi RUU ini sejalan dengan UUD 1945, tidak diskriminatif, tidak mengkriminalisasi perempuan dan anak, mencerminkan keragaman kultur masyarakat Indonesia, dan proses pembahasannya diselenggarakan transparan, terbuka, melibatkan perempuan, anak, masyarakat adat dan kelompok marjinal lain. (Gahar/Sumber : Institut Perempuan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar